Jalan Menuju Syurga
Oleh : Aenu Rofiah (PAIF Kab. Kendal)
Dalam satu kesempatan, di dalam masjid Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Sebentar lagi akan datang kepada kalian seorang laki-laki penghuni surga.”
Sabda Rasulullah SAW ini tentu saja membuat penasaran. Para sahabat bertanya-tanya siapa gerangan sang penghuni surga itu. Tak lama, para sahabat pun melihat seorang laki-laki Anshar dengan wajah basah. Air wudhu menetes dari janggutnya. Tangannya menjinjing sepasang sandal. Tak ada yang spesial secara fisik dari laki-laki itu.
Para sahabat pun bertanya-tanya alasan apa yang membuat laki-laki tersebut menjadi penghuni surga. Sampai keesokan hari belum terjawab juga rasa penasaran para sahabat. Rasulullah kembali mengucapkan hal sama. “Sebentar lagi akan datang kepada kalian seorang laki-laki penghuni surga”. Para sahabat pun kembali penasaran, bertanya-tanya, siapa lagi yang dipastikan merasakan kenikmatan surga Allah yang kekal itu.
Namun, justru laki-laki dengan wajah basah wudhu dan membawa sandal itu lagi yang muncul. Para sahabat semakin bertanya-tanya, namun tak ada satu pun yang berani bertanya pada Rasulullah.
Hingga hari ketiga, Rasulullah mengucapkan hal yang sama. Namun, tetap saja yang muncul laki-laki itu. Para sahabat pun yakin laki-laki itulah calon penghuni surga. Tapi, tak satu pun sahabat yang mengetahui alasan di balik rahmat Allah memasukkan laki-laki itu ke dalam surga.
Namun mereka tetap merasa tak enak hati jika menanyakannya hal itu kepada Rasulullah. Tinggallah para sahabat terus dirundung keingintahuan. Salah satu sahabat yang amat penasaran adalah Abdullah bin Amr bin Ash. Dia memilih inisiatif untuk mencari tahu sendiri.
Hari ketiga setelah Rasulullah mengucapkan hal yang sama, Abdullah bin Amr bin Ash bermaksud mengikuti laki-laki itu. Ia pun membuntutinya hingga tiba di rumah calon penghuni surga itu.
Abdullah berpikir bagaimana cara agar ia dapat mengetahui amalan apa yang menyebabkan pria itu meraih keistimewaan sebagai penghuni surga. Ia pun kemudian menyapa pria tersebut dan bermaksud meminta izin untuk menginap di rumahnya. bermaksud tinggal di sana agar dapat mengetahui amalan si penghuni surga. Si penghuni surga tersebut dengan senang hati menyambut Abdullah. Maka, tinggallah Abdullah di rumah calon penghuni surga itu selama tiga hari.
Selama tinggal di sana, Abdullah mengamati setiap ibadah dan amalan yang dilakukan si calon penghuni surga. Hari pertama, Abdullah tak menemukan adanya amalan spesial dari laki-laki itu. Hari kedua, ibadahnya masih sama, tak ada yang istimewa.
Hingga hari terakhir, Abdullah tak juga menemukan ibadah yang luar biasa dari si laki-laki yang berhasil meraih keutamaan surga tersebut. Abdullah hanya melihat ibadah si laki-laki yang biasa, hanya menjalankan ibadah wajib saja. Di sepertiga malam, pria itu tak pernah bangun salat Tahajud. Pria penghuni surga itu pun tak menjalankan puasa sunnah.
Abdullah hanya mendengar laki-laki itu berzikir dan bertakbir acap kali terjaga dari tidur, pria itu baru bangun saat waktu salat subuh tiba. Abdullah juga tak pernah mendengar pria itu berbicara, kecuali ucapan yang baik.
Tiga hari terlewat tanpa menemukan jawaban apa pun. Ketika izin pulang setelah menginap tiga hari, Abdullah mengakui maksudnya untuk mencari keutamaan amalan si laki-laki itu hingga beruntung menjadi salah satu penghuni surga Allah.
Kepada pria itu Abdullah mengatakan, tujuan Abdullah menginap adalah karena ingin tahu amalan yang membuatnya menjadi penghuni surga, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah. Abdullah bermaksud dengan melihat amalannya itu dan akan menirunya.
Laki-laki itu pun tersenyum dan menjawab ringan, “Aku tidak memiliki amalan, kecuali semua yang telah engkau lihat selama tiga hari ini.” Jawabannya itu tak memuaskan hati Abdullah ibn Amr.
Dia kemudian berkata, “Amalanku hanya apa yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang kepada seorang pun. Aku juga tidak pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.”
Mendengar perkataan tersebut, takjublah Abdullah bin Amr bin Ash. Ia yakin sifat tak pernah iri, dengki, dan hasad itulah yang membuat pria itu masuk surga.
Ia pun malu karena banyak dari kaum muslimin yang tak memperhatikan akhlak tersebut. Tak hanya ibadah semata yang mengantarkan manusia merasakan surga Allah, tetapi juga amalan kebaikan, termasuk sifat dan akhlakul karimah.
Tak sia-sia Abdullah menginap tiga hari bersama sang calon penghuni surga. Karena, ia mendapatkan pelajaran yang amat patut dicontoh dirinya maupun Muslimin secara umum.
Berdasarkan kisah tersebut, banyak pelajaran yang dapat dipetik kaum Muslimin. Sifat hasad, baik iri dan dengki, sangat dilarang dalam Islam. Bahkan, dari kisah ini tampak seorang yang tak pernah memiliki sifat itu merupakan penghuni surga Allah.
Hasad dapat dianalogikan sebagai suatu benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Namun keberadaannya justru memiliki pengaruh dan dampak yang luar biasa serta bahaya yang lebih ganas dibandingkan dengan sesuatu yang dapat terlihat mata. Meski hasad tidak terlihat secara kasat mata, namun efek terhadap jiwa dan tatanan sosial sangat nyata.
Rasulullah bersabda betapa bahayanya hasad :
اِياَّ كُم وَالحَسَدَ فَاِنَّ الْحَسَدَ يَاْ كُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَاْ كُلُ النَّارُ الحَطَبَ
Artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari hasad karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar.” (HR. Abu Dawud).
Hasad adalah kejahatan tersembunyi yang dapat membahayakan manusia. Allah menyuruh kita untuk meminta perlindungan dari bahaya hasad.
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ ࣖ
“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki” (Q.S. Al-Falaq: 5)
Secara psikologis, hasad memiliki beberapa dampak, diantaranya bahwa hasad membentuk jiwa yang tidak mau mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Allah (kufur nikmat). Orang yang hasad adalah orang yang menyiksa diri sendiri karena hatinya tak tenang yang disebabkan munculnya rasa tidak nyaman atas kebahagiaan orang lain.
dari hasad maka akan muncul ghibah, fitnah dan sebagainya yang dapat menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan ikatan persaudaraan sesama dalam jangka waktu yang tak terbatas. Hasad adalah menginginkan nikmat yang dimiliki orang lain dan menghendaki nikmat tersebut berpindah kepada dirinya. Hasad berawal dari sikap tidak menerima nikmat yang diberikan Allah kepadanya, karena ia melihat orang lain diberi nikmat yang dianggap lebih besar. Hasad pun bisa timbul bila seseorang menganggap dirinya lebih berhak mendapatkan nikmat dibanding orang lain.
Semoga kita diselamatkan oleh Allah SWT dari sifat hasad dan bisa menjadikan sebab kita dimasukkan ke dalam surga-Nya.