ARTIKELRefleksi

Senja Keluarga

Berbagi yuks..

Oleh : H. Wajihudin, M.Pd. Al-Hafid (PAIF Kabupaten Wonosobo)

MOderanesia.com – Program ‘Senja Keluarga’ yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo bersama dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, pada tanggal 10 Muharam 1428 H/28 Januari 2007 merupakan langkah penting Pemkab Wonosobo dalam membangun keluarga.  Tujuannya, mewujudkan generasi penerus, keluarga dan masyarakat Kabupaten Wonosobo yang taat beribadah, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, berbudi luhur dan meningkat kualitas keberagamaannya.

Waktu Senja Keluarga sangat tepat yaitu antara  Magrib dan ‘Isya (jam 18.00 – 19.00).  Aktivitas senja keluarga meliputi : beribadah sesuai agama masing-masing, mengaji, mendalami dan memahami Kitab Suci; berkomunikasi dan berkumpul bersama anggota keluarga; memandu dan membimbing belajar.

Mengapa ? Kualitas keluarga tidak hanya ditentukan oleh kecukupan material (material sufficiency) berupa sandang, pangan dan papan. Namun juga spiritual berupa kenyamaan, keamanan, rasa hormat, komunikasi yang baik, pendidikan disiplin dan integritas moral.

Jean Fleming dalam bukunya Mother’s Heart  menyebut bahwa orang tua harus mencurahkan seluruh kasih sayang yang dimiliki untuk anak-anaknya sebab kasih sayang (love and care), merupakan karunia terbesar umat manusia, Ia adalah bawaan dari alam ruhani yang disertakan Tuhan pada setiap individu. Dengan karunia tersebut setiap orangtua dapat melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan.

Untuk itu, orangtua harus memiliki kualitas spiritual yang dapat ditransmisikan kepada anak-anaknya. Kualitas ini diperoleh apabila orangtua memiliki disiplin beragama. Disiplin ini,  kata Jean Fleming, tidak dapat diperoleh jika rumah tangga (orangtua) tidak hidup dalam firman Tuhan.

Pandangan yang hampir sama dikemukakan para pakar kejiwaan antara lain Haim Ginott, John Gottman dan David Goleiman, Bahwasanya kecerdasan emosional-dan spiritual dapat dibangun dari kehidupan keluarga. Sedangkan pendidikan di sekolah lebih bersifat mekanis, bahkan cenderung materialis dan terkadang ada kelas tertentu berupa elisitas dimana sekolahnya dan seberapa hebat seorang anak memperoleh nilai mata pelajaran.

Sebaliknya, di dalam keluarga pendidikan bersifat universal dan serba cakup. Saat guru mendidik ‘murid’, maka orangtua mendidik “anak-anak” buah hati yang diamanatkan Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi. Pendidikan dalam keluarga didasari ikhlas, jujur dan kekhawatiran pada ‘apa yang akan disembah” anak-anaknya; bukan “apa yang akan diperoleh” anak-anaknya di kemudian hari . Tentu gabungan dari pendidikan keluarga dan institusional akan semakin sempurna.

Konsep dasarnya adalah membebaskan anak dari malapetaka dunia dan akhirat serta menjadikannya sebagai hamba Allah. Sebab sia-sia apabila anak pintar tetapi akal budinya rusak; tidak menyembah Allah tetapi menyembah dunia. Juga sia-sia banyak harta namun mencelakakan kehidupannya. Tuhan menyatakan : ”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia (TQ.S. At-Tahrim[66]:6).

Di belahan dunia manapun, kerusakan sistemik tata sosial berawal dari kerusakan keluarga. Seperti kisah Hakim Agung Bani Israil yang hancur karena terjebak dalam keluarga yang durhaka kepada Allah. Hakim Agung itu bernama Simson. Dia anak Manoah, salah satu Nabi Bangsa Israil yang sangat salih. Lama tidak punya anak, dia bernadzar ingin punya anak laki-laki yang dinadzarkan hanya akan bekerja untuk Allah. Tapi di kemudian hari bergaul dengan penyembah berhala (penduduk Timna) dan menikahi wanita cantik namun sesat bernama Delila.

 ”Kalau saja Simson menuruti perintah-perintah Ilahi, tidak terjerat minuman keras, dan memakan sesuatu yang haram, nasibnya pasti lebih mulia dan berbahagia. Akan tetapi pergaulan dengan para penyembah berhala telah merusak dirinya. Perempuan, penyembahan berhala, dan anggur yang menggoda itu telah memutuskan ikatan Simson kepada kesucian dan Tuhan,” kata Ellen.G. White dalam The Eternity Past.

O ya, pada dasarnya, masyarakat di negara maju sudah jenuh dengan modernitas. Sisi gelap modernitas telah menjerumukan kehidupan pada kesesatan (Q.S.Al-A’raf[7:179) dan secara alamiah, akan membosankan. Dalam kejenuhan, wajar jika mereka condong pada keluarga konservatif, Mereka ingin dekat dengan keluarga, mencintai dan mendidik dengan firman Tuhan. Mereka sedang bergerak ke arah masyarakat post-modern; masyarakat yang menghargai dan memanfatkan spiritualitas untuk dekat dengan Yang Maha Agung dan kembali menjadi manusia seutuhnya, Para orangtua pun bekerja keras untuk mengembalikan kehidupan keluarga yang normal. Mereka menyadari bahwa keluarga merupakan sumber kebahagiaan, sementara penyimpangan spiritualitas dan etika sosial merupakan sumber malapetaka. Maka, keluarga yang membaca Kitab Suci, niscaya memperoleh berkat Tuhan di kemudian hari. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *