Ibadah MuamalahMATERI

Istito’ah Haji (Kajian Tafsir Al Qur’an Surat Ali Imron Ayat 97)

Berbagi yuks..

Oleh: Toto Subagyo (PAIF Kab. Banjarnegara)

TEKS AYAT

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”[1] (QS. Ali Imran: 97)

Haji adalah kewajiban bagi umat Islam yang memenuhi sejumlah syarat[2] , wajib haji dan rukunnya. Salah satu persyaratan diwajibkannnya menjalankan ibadah haji adalah Istiṭā’ah (mampu) dalam perjalanan menuju Baitullah. Bagi yang tidak memiliki kriteria mampu terbebas dari kewajiban haji. Secara umum, pemahaman Istiṭā’ah adalah memiliki kemampuan biaya bagi diri dan keluarga yang ditinggalkan, kesehatan fisik dan psikhis serta adanya sarana transportasi dan keamanan untuk melaksanakannya.

Hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Bukhari:

 بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ [3]

“Islam itu dibangun atas lima dasar: 1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak diibadahi) melainkan Allah, dan bahwasanya Muhammad utusan Allah. 2) Mendirikan shalat lima waktu. 3) Mengeluarkan zakat. 4) Menunaikan ibadah haji. Dan 5) Berpuasa pada bulan Ramadhan. (HR. Al-Bukhari)

Permasalahan ini menarik dibahas jika dikaitkan dengan problematika kekinian. Mekanisme ibadah haji saat ini di hampir semua negara menyatakan kemampuan material seseorang belum cukup untuk bisa menjalankan ibadah haji, karena ketentuan bisa berangkat atau tidak ditentukan oleh pemerintah. Di negara tercinta kita Indonesia, pada tataran realitas jumlah pendaftar haji begitu banyak dalam ‘waiting list’ atau antrean. Bermula dari maraknya dana talangan pada kurang lebih tahun 2012-an, berimbas daftar tunggu haji yang semakin panjang dengan salah satu konsekuensinya menambah lama seseorang untuk bisa menjalankan ibadah haji. Hingga menurunnya kualitas kemampuan dan kesehatan fisik dan psikis seseorang. Sangat mungkin manakala ada yang berkeinginan berhaji, lalu mendaftar saat masih muda, sehat, kuat dan berkecukupan. Namun mendapat panggilan keberangkatan dalam kondisi fisik yang sudah lemah dan tua. Disini jelas bahwa yang bersangkutan memiliki syarat istiṭā’ah. Namun setelah menunggu puluhan tahun, giliran berangkat kondisinya bisa berubah. Dalam kasus yang lain, seseorang belum memiliki kecukupan biaya untuk mendaftar haji namun karena melihat antrean begitu panjang ia rela mendaftar haji demi memperoleh nomor porsi dengan uang hasil berhutang. Hal ini juga menjadi permasalahan yang perlu di diskusikan guna memberi wawasan pemahaman kepada masyarakat terkait istiṭā’ah.

PEMBAHASAN

Pengertian Istiṭā’ah.

Menurut bahasa adalah (طاقة أو قوة)   yang berarti kemampuan (kuat/sanggup)[4]. Dalam kamus  Mu’jam Lughotil Fuqoha’, bahwa yang dimaksud dengan istiṭā’ah adalah : الاستطاعة: القدرة على أداء الامر[5] Istiṭā’ah;kemampuan untuk menjalankan sebuah perintah.” Sedangkan menurut Imam at-Thobary, Istiṭā’ah adalah [6]القدرة عليه. Dalam  Lisanul ‘Arab, Ibnu Munzir mengatakan sebagai berikut:

قال الجوهري والاسْتِطاعةُ الطَّاقةُ قال ابن بري هو كما ذكر إِلاَّ أَنّ الاستطاعة للإِنسان خاصّة والإِطاقة عامة… والاستطاعةُ القدرة على الشيء وقيل هي استفعال من الطاعة[7]

Berkata al-Jauhary: “Dan makna istiṭā’ah adalah kemampuan. Berkata Ibnu Bary: “Sebagaimana disebutkan bahwa istiṭā’ah adalah khusus untuk manusia dan ithoqotu adalah untuk secara umum… Dan istiṭā’ah artinya adalah al-qudroh (kekuatan) atas suatu hal dan dikatakan maksudnya adalah melaksanakan ketaatan”.

Menurut Al-Shobuni, istiṭā’ah adalah kemampuan jalan (sarana) kepada sesuatu yang memungkinkan sampai kepadanya.[8] Sedangkan dalam “Ta’rifat wa Mustholahat Fiqhiyyatin Fi Lughatin al-Mu’ashiroh, termuat definisi sebagai berikut:

الاستطاعة: هي القدرة على تحمل نفقات السفر ذهاباً وإياباً، ونفقات المأكل والمشرب والإقامة، وكذلك نفقة أسرته حتى يعود ان كان ممن يعول.[9]

Istiṭā’ah yaitu kekuatan untuk membawa (menyediakan) nafkah (biaya, konsumsi dan akomodasi) perjalanan sejak pergi sampai kembali. Dan nafkah dimaksud untuk kebutuhan makanan, minuman dan tempat tinggal, begitu juga nafkah biaya keluarganya hingga pulang jika ada yang ditanggung.

Jadi yang dimaksud istiṭā’ah disini adalah kemampuan dan kekuatan fisik, mental spiritual dan material serta sarana penunjang lainnya untuk menjalankan ibadah haji atau umroh dari proses pendaftaran, sebelum berangkat, proses manasik haji serta kepulangannya ke tanah air.

  • Haji.

Haji atau al-hajj secara bahasa al-qasd,[10] yaitu; pergi ke, bermaksud, menyengaja[11], al-qashdu ila syai’i al mu’addhom[12]. Menurut istilah syar’iyyah, al-hajj ialah:

قصدالكعبة لأداء أفعال مخصوصة اوهوزيارة مكان مخصوصة فى زمن مخصوص بفعل مخصوص[13]  

Menyengaja atau pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu, atau menziarahi tempat tertentu, pada waktu tertentu, dengan amalan tertentu.

  • Istiṭā’ah Haji Menurut Ulama

Menurut para ulama syarat wajib haji ada 5 yaitu: Islam, baligh, berakal, merdeka dan memiliki istiṭā’ah atau kemampuan[14]. Al-Ragib al-Isfahani, salah seorang ulama bahasa dan pakar      Al-Qur’ān, ketika menguraikan pengertian kata istiṭā’ah menjelaskan:

والاستطاعة استفالة من الطوع وذلك وجود ما يصير به الفعل متأتيا وهى عند المحققين اسم للمعانى التى بها يتمكن الانسان مما يريده من إحداث الفعل وهى أربعة أشياء: بنية مخصوصة للفاعل. وتصور للفعل، ومادة قابلة لتأثيره، وآلة …. والاستطاعة أخص من القدرة….الاستطاعة الزاد والراحلة ” فإنه بيان ما يحتاج إليه من الالة وخصه بالذكر دون الاخر إذ كان معلوما من حيث العقل ومقتضى[15]

Al-Istiṭā’ah adalah kata turunan dari al-thou, kata yang mengandung makna kemampuan dan kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang diinginkannya. Menurut para ahli,  istiṭā’ah bisa terwujud  berkait dengan empat unsur penting, yaitu niyat yang spesifik dari pelaku, aktivitas, sarana dan alat…. Al-Istiṭā’ah lebih spesifik dibandingkan dengan al-qudroh…. . Al-Istiṭā’ah (dalam menjalankan haji-pen.) adalah bekal dan kendaraan adalah penjelasan dari yang dimaksud yaitu alat (sarana prasarana) dengan disebut secara khusus (oleh Nabi) tanpa menyebut unsur lainnya adalah karena yang lain sudah diketahui tanpa perlu logika dan keputusan hukum.

Dalam Kitab I’anatut Thalibin dijelaskan pengertian istiṭā’ah itu sebagai berikut :

قال ابن عباس – رضي الله عنهما – والاستطاعة: أن يكون قادرا على الزاد والراحلة، وأن يصح بدن العبد، وأن يكون الطريق آمنا.[16]

Berkata Ibnu Abas ra: “Dan istiṭā’ah adalah adanya kemampuan atas bekal dan kendaraan, sehatnya badan seseorang serta adanya jalan yang aman”.

Dalam hal ini kita bisa melihat deskripsi terkait perbedaan penafsiran istiṭā’ah sebagaimana termuat dala kitab fiqih 4 madzhab sebagai berikut: “ Dari sebagian syarat wajibnya haji adalah istiṭā’ah. Maka seluruh madzhab bersepakat tidak ada kewajiban haji bagi yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana firman Allah Ta’ala: (walillahi ‘alannasi hijjul baiti manistatho’a ilaihi sabiila). Akan tetapi mereka berbeda pendapat terkait tafsir istiṭā’ah sebagaimana mereka berselisih makna istiṭā’ah terhadap wanita dan orang buta… Kalangan Hanafiyah berkata: “Istiṭā’ah yaitu kekuatan kemampuan harta dan kendaraan dengan syarat harta dan kendaraan tersebut melebihi kebutuhan pokoknya seperti; hutang yang ditenggungnya, tempat tinggal, pakaian, ternaknya, perabot rumah tangganya serta adanya  kelebihan harta dan kendaraan untuk membiayainya sejak berangkat hingga kembalinya. Maka orang yang tidak mampu naik kendaraan atau punuk unta untuk mendatanginya misalnya serta tidak mampu membayar tandu maka ia dianggap tidak memiliki kemampuan….[17] Dan sebagian dari syarat wajib haji (juga) yaitu : ilmu pengetahuan tentang tata-cara ibadah haji bagi yang tidak tinggal di negara Islam. maka barang siapa yang hidup di negara non Islam dan belum ada dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan yang mengabarkan (ilmu tentang haji) maka tidak wajib haji….Kalangan Malikiyah berkata: “Istiṭā’ah yaitu kesanggupan untuk sampai ke Mekah dan tempat-tempat manasik secara fisik baik dengan berjalan atau berkendara baik transportasinya milik sendiri atau menyewa. Dan disyaratkan untuk tidak memiliki kesulitan besar dalam perjalanan. Barang siapa yang mampu melaksanakan dengan kesulitan yang serius maka dianggap tidak memiliki syarat istiṭā’ah dan tidak wajib haji…[18]

Menurut madzhab Hambali: istito’ah yaitu kemampuan biaya dan kendaraan yang baik secukupnya. Dan disyaratkan biaya dan kendaraan tersebut adalah kelebihan dari kebutuhan kitab-kitab ilmu pengetahuan, tempat tinggal, pembantu dan nafkah keluarganya secara terus menerus. Dan sebagian istiṭā’ah adalah keamanan perjalanan hingga tidak ditemukan halangan kekhawatiran jiwa, uang atau harta dan lain sebagainya[19].

Menurut Syafiiyah, istiṭā’ah ada dua:  Pertama, seseorang mempunyai kemampuan badan dan biaya yang cukup untuk haji. Kemampuan (istiṭā’ah) semacam ini adalah kemampuan yang sempurna; karena itu, ia sudah wajib haji. Dalam kondisi semacam itu, tiada pilihan lain kecuali ia harus melaksanakan haji sendiri. Kedua, ia madlnu (sakit) badannya hingga tidak mampu naik kendaraan, maka ia berhaji di atas kendaraan di kala mampu; sedang (jika) ia mampu menyuruh orang yang taat kepadanya untuk menghajikannya, atau ia mempunyai biaya dan mendapatkan orang yang mau dibayar untuk menghajikannya, orang seperti ini termasuk orang yang diwajibkan haji, sebagaimana orang yang mampu haji sendiri[20].

Abu Hanifah berpendapat bahwa istiṭā’ah meliputi keduanya, (yakni kemampuan harta dan badan). Damir (kata ganti) dalam kata ﻪﻴﻟﺇ kembali ke Baitullah atau haji. Setiap hal yang dapat mengantarkan pada sesuatu adalah jalannya.[21] Sebagian dari ulama tafsir berdiskusi dalam memaknai kata istiṭā’ah dalam ayat diatas dengan kesanggupan dalam hubungannya dengan keutamaan/keafdhalan, sebagian mereka mengaitkan keutamaan kesanggupan dengan kesanggupan berjalan kaki lebih utama dari dengan kendaraan, sebagian lagi mengatakan kesanggupan itu tidak hanya kesanggupan berjalan kaki atau berkenderaan karena disamping kesanggupan tersebut bagi mereka yang berhaji perlu juga makan, minum dan penginapan serta kebutuhan lain.[22]

Menurut Ibn Qudamah, bekal adalah apa yang dibutuhkan berupa makanan minuman dan pakaian untuk pergi dan kembali. Jika ia ada bekal untuk berangkat tanpa kembali, maka tidak diharuskan ia melakukan haji karena pengasingannya akan berdampak negatif, beban yang berat dan celaan terhadap keluarganya. Dan beliau mensyaratkan adanya hewan tunggangan yang baik dengan cara membelinya atau menyewa dan alat-alat yang menunjangnya. Adapun kendaraan, disyaratkan adanya kendaraan yang layak baik dengan membeli atau sewaan untuk keberangkatan sampai kepulangannya serta adanya prasarana yang dibutuhkan yang layak[23].

Menurut Sayid Sabiq, terwujudnya istiṭā’ah sebagai salah satu syarat dari beberapa syarat haji adalah: 1. Mukallaf dalam keadaan sehat secara fisik, maka jika lemah menjalankan haji karena lanjut usia (dan pikun) atau karena musibah atau sakit yang tidak bisa diharap kesembuhannya, umumnya dihajikan oleh orang lain jika memiliki uang… 2. Adanya perjalanan yang aman bagi pelaksanaan hajinya dan harta bendanya. Maka jika khawatir akan keamanan dirinya dari  terputusnya jalan, atau wabah, atau khawatir akan perampokan hartanya maka ia termasuk katagori tidak memiliki syarat Istiṭā’ah. Dan ulama telah berbeda pendapat perihal pungutan pajak dan kuda dijalan, apakah termasuk halangan rencana haji atau tidak? Imam Syafi’i dan lainnya menganggap termasuk. Dikalangan Malikiyah; tidak termasuk halangan kecuali jika mereka menguras habis atau mengambil berulang-kali hartanya. 3 dan 4, ada memiliki harta dan kendaraan. Dan yang populer terkait pengertian harta; memiliki harta yang mencukupi bagi dirinya dan cukup bagi yang ditanggungnya terkait kebutuhan pokok pakaian dan makanan, kendaraan dan perkakas hingga terlaksananya kewajiban dan kembali. Dan yang populer terkait pengertian kendaraan (ar-rahilah) adalah (transportasi) yang memungkinkan baginya dari pergi hingga pulang, baik melalui transportasi darat, laut atau udara. Dan hal ini diperbandingkan dengan apa yang tidak mungkin untuk melaluinya dengan jalan kaki karena jauhnya dari Makah[24].

Demikian sedikit pembahasan mengenai istitho’ah dalam haji, semoga dapat menambah pemahaman dan semangat untuk beribadah haji.


[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. (Semarang:PT. Karya Toha Putra,2002).

[2] Dalam fiqih haji disebutkan bahwa manasik ibadah haji memiliki syarat rukun wajib dan sunnah haji. Bahkan juga dijelaskan larangan (keharaman) dalam  rangkaian manasik haji. Jumhur ulama sepakat bahwa syarat wajib haji ada 5, yaitu: 1) Islam, 2) baligh, 3) berakal, 4) Istitho’ah (mampu) dan 5) merdeka. Lihat dalam berbagai kitab fiqih bab Haji

[3] Al-Bukhary, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Du’a’ukum Imanukum, (Mesir: Kementerian Wakaf, t.t). Hlm.8 Dalam Maktabah Syamilah

[4] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes Krapyak, 1984 M), hal. 935.

[5] Kamus Mu’jam Lughati al-Fuqoha’, Dalam Maktabah Syamilah, Hlm. 62

[6] At-Thobary, Muhammad Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan Fi Ta’wili al-Qur’an, Juz VI Bab 97 (Muassasah ar-Risalah:2000), Hlm. 45 Dalam Maktabah Syamilah.

[7] Ibnu Mandhur, Muhammad Ibnu Makrom, al-Afriqy al-Mishry, Lisanu al-‘Arab,Juz VIII, Bab Harfu al-‘Ain, Fashal Thou’a (Beirut:Daru Shadir, t.t.), Hlm.240 Dalam Maktabah Syamilah

[8] Lihat dalam Al-Shobuni, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Juz1 Bab Faridlotu al-Hajj fi al-Islam, (Maktabah Al-Ghazali. Damaskus). Hlm.407.

[9] Ta’rifat wa Mustholahat Fiqhiyyatin Fi Lughatin al-Mu’ashiroh, Juz I, hlm. 34 dalam Maktabah Syamilah

[10] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-‘Ulum, (Beirut: ’al-Tab‘ah al-Katulikiyah, t.t), hlm.118

[11] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 237

[12] Qamus al- Fuqaha’ Juz I hlm.76 Dalam Maktabah syamilah

[13] Al-Zuhaily, Wahbah,  al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 3, Bab V,  (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), hlm. 8 Fersi PDF

[14] Lihat dalam berbagai kitab Fiqih Bab Haji tentang syarat rukun dan wajib haji. Jumhur Ulama menyepakati bahwa istiṭā’ah adalah salah satu syarat wajib haji dimana salah satu pengertiannnya adalah seseorang dikenakan kewajiban untuk menjalankan haji jika telah memiliki berbagai kemampun baik secara materi serta kesehatan fisik maupun mental.

[15] al-Isfahani, Al-Raghib, Mufradat Gharibi al-Qur’an , Juz I (Damaskus : Dar al-Qalam, 1992), hlm. 310 Dalam Maktabah Syamilah

[16] Ad-Dimyati, Abu Bakar, ‘Ianatut Thalibin, Juz II, hlm. 318. Dalam Maktabah Syamilah

[17] Lihat dalam Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm.1003 Dalam Maktabah Syamilah. Lihat juga dalam As-Syaukani. Fathul Qadir, Juz I, Bab 96, Hlm 498

[18] Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm.1003 Dalam Maktabah Syamilah. Lihat juga dalam As-Syaukani. Fathul Qadir, Juz I, Bab 96, Hlm 498

[19] Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), hlm.1003 Dalam Maktabah Syamilah. Lihat juga dalam As-Syaukani. Fathul Qadir, Juz I, Bab 96, Hlm 498

[20] Lihat dalam Al-Syafi’i, Muhammad Idris, Al-Umm, Juz II, Hlm. 132. Dalam Maktabah Syamilah.

[21] Lihat dalam al-Baidãwi, Tafsîr al-Baidãwî, Juz I (Beirut: Dãr al-Kutub al-‘Ilmiyah,1988) Hlm. 371

[22] Lihat dalam al-Syanqithy, Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, 4 : 300

[23] Lihat dalam Al-Maqdisi. Ibnu Qudamah, al-Mugni, 1405H. Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, dalam Maktabah Syamilah), h.267.

[24] Lihat dalam Sabiq, Sayid. Fiqhu Sunnah,  Juz I,  Bab Haji,  hlm. 630 dalam Maktabah Syamilah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *