ARTIKELRefleksi

Cinta Sebagai Asas Beragama

Berbagi yuks..

Oleh : Muhammad Zainur Rakhman (PAIF Kabupaten Banyumas)

Moderanesia.com – Cinta dalam pengertiannya yang paling murni, yakni getar ketertarikan yang membuat sebuah kemelekatan. Dalam hal ini, fisik dan non fisik, tidak lagi terpisah dan terdikotomi. Semua melebur menjadi satu dalam cinta. Ketika seseorang membicarakan cinta, maka tak ada lagi batasan fisik dan non fisik, bahkan kecenderungan ruang dan waktu pun menjadi lemah pengaruhnya. Dalam kaitanya dengan penciptaan alam semesta, maka Tuhan mencipta dengan cinta, dan mengaturnya dengan cinta pula. Hal yang terkecil dari materi, yakni atom, ternyata terdiri dari percintaan abadi antara elektron dan proton, yang membuat sepotong tangan mewujud, dan bertahan dalam bentuknya. Begitu juga bentuk-bentuk yang lain yang ada di alam semesta.

Cinta adalah perekat yang membuat alam semesta bertahan. Keberadaan alam semesta terjadi karena Sang Pencipta terus menerus melayangkan pandangan Nya yang penuh cinta kasih. Sekali Dia memalingkan pandangan, hancurlah alam semesta. Sebagaimana, bayangan kita yang ada di dalam cermin, ia akan ada ketika kita bercermin, dan akan langsung lenyap, ketika kita tak lagi ada berhadapan dengan cermin. Kurang lebih seperti itulah, keadaan dan eksistensi kita dan segala macam ciptaan: hanya sebagaimana bayangan dalam cermin.

Saat kita mencintai sesuatu, kita akan terus menerus memandangnya, memegangnya jika bisa, dan bersama dengannya setiap saat. Saat kita begitu mengagumi diri kita, seringkali kita akan wujudkan ekspresi kekaguman tersebut lewat bercermin, atau mengabadikan citra lewat foto atau sebuah film.

Cinta lah yang melekatkan segala sesuatu. Kita hidup dalam pancaran cinta kasih Tuhan yang Maha Tulus. Saat kita meyakini-Nya, kita berada di dalam Nya, dan saat kita beriman kepada-Nya, kita mewujudkan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu.

Ada perekat, tentu saja ada yang direkatkan. Perekat dan yang direkatkan harus menjadi satu. Perekat memiliki unsur-unsur, begitu juga dengan yang direkatkan, juga memiliki unsur-unsur. Unsur-unsur perekat, dengan demikian yakni unsur-unsur cinta, ada empat hal: kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kesederhanaan. Keempat hal itulah yang membentuk cinta yang sempurna. Unsur-unsur yang direkatkan juga ada empat, jika berkaitan dengan alam semesta, maka itu terdiri dari air, api, udara, dan tanah. Jika kaitannya dengan manusia, maka itu adalah pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan. Menyatunya antara perekat dan yang direkatkan, menjadi kaidah cinta yang sempurna, yakni: Berkehendak Baik; Berpikir Benar; Berperasaan Indah; dan Bertindak Sederhana.

Kehendak yang baik bagaikan angin yang sepoi-sepoi. Memberikan kesejukan, menghilangkan rasa lelah, memberikan semangat, dan membuat segalanya menjadi menyenangkan. Sebaliknya, kehendak yang buruk, seperti halnya angin ribut, yang membuat kerusakan dimana-mana, menimbulkan rasa takut, mendebarkan dada secara tidak semestinya, dan menyebabkan jatuhnya korban.

Pikiran yang benar, bagaikan air yang jernih, yang tembus cahaya. Memberikan kesegaran, memanjakan mata, menghilangkan dahaga, dan memberikan kehidupan bagi banyak hal. Selain itu, pikiran yang benar, bagaikan air yang mengalir dengan tenang, teratur dalam alir-alurnya. Seperti juga, mata air yang memberikan manfaat bagi semua makhluk, menumbuhkan bunga-bunga dan hijaunya pepohonan. Sementara itu, pikiran yang salah, seperti halnya air comberan, yang membuat setiap orang merasa jijik. Menumbuhkan jentik-jentik penyakit, menyebarkan bau tak sedap, dan menyesakkan tatkala memandangnya. Pikiran yang salah, juga seperti air bah yang menghancurkan bendungan, memporak-porandakan rumah, dan menghanyutkan banyak manusia.

Perasaan yang indah, seolah api yang menjadi obor pelita. Menerangi kegelapan, menghangatkan tubuh dan jiwa, mempertahankan daya hidup, dan menunjukkan jalan ke arah yang semestinya. Sementara itu, perasaan yang jelek, bagaikan api yang membakar, berkobar, dan menghanguskan rumah, tak bisa dikendalikan. Segalanya menjadi lenyap dengan sekejap, akibat api yang berkobar besar; akibat perasaan yang jelek, penuh prasangka.

Tindakan yang sederhana, bagaikan tanah yang tenang, berotasi dengan konstan, dan membuat segalanya seimbang. Kehidupan dengan nyaman, dapat berpijak di atasnya, bangunan dan pepohonan, dapat berdiri dengan megahnya. Sementara itu, tindakan yang rumit dan berlebih-lebihan, seperti halnya, tanah yang berguncang. Penuh goyangan dimana-mana, meruntuhkan bangunan sekaligus kehidupan yang berada diatasnya.

Semua itu memberikan kita suatu pesan, bahwa kehendak harus dijaga, sebagaimana kita selalu ingin menikmati angin yang bertiup sepoi, bukan angin topan atau badai. Pikiran juga harus senantiasa kita jaga, sebagaimana kita selalu membutuhkan air yang jernih, bukan comberan atau air bah yang menyebabkan penderitaan. Perasaan juga harus dijaga, sebagaimana kita merindukan api yang hangat, yang nyalanya sesuai dengan kebutuhan, bukan api yang membakar dan menghanguskan rumah dan hidup kita. Begitu juga dengan tindakan; harus kita jaga, sebagaimana kita memerlukan tanah yang stabil, yang subur dan membuat kita merasa aman. Bukan tanah yang sering berguncang oleh gempa.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk mengupayakan hal-hal tersebut ada dalam diri kita, dan kita amalkan dalam keseharian. amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *