Mempertahankan Kebaikan Ramadhan di Bulan Syawal
Mempertahankan Kebaikan Ramadhan di Bulan Syawal
Oleh : Ummu Hani Maryam, (PAIF Kab. Karanganyar)
TEKS AYAT
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah: 183)
Ramadhan telah berlalu, dimana sebulan penuh umat Muslim berpuasa, diiringi dengan anjuran untuk mengoptimalkan ibadah lainnya. Sebagaimana kewajiban berpuasa yang telah Allah tetapkan pada orang-orang beriman sesuai ayat di atas, bertujuan agar orang-orang beriman mampu mencapai derajat taqwa yaitu menjadi golongan Muttaqin. Karenanya, tidak berlebihan jika Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi rahimahullah mengatakan, “Bulan Rajab merupakan bulan menanam. bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Ramadhan sebagai bulan memanen hasil tanaman.”Selain itu, adagium lain yang dinyatakan olehnya mengenai bulan Ramadhan adalah “Bulan Rajab itu bagaikan angin, bulan Sya’ban bagaikan awan, dan bulan Ramadhan bagaikan hujan.”
Memaknai Semangat Beribadah di Bulan Syawal
Tingginya kualitas serta kuantitas ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim selama Ramadhan, sejatinya merupakan sarana pelatihan untuk bulan-bulan setelahnya. Waktu yang terus bergerak hingga memasuki bulan Syawal diharapkan mampu meningkatkan ibadah yang telah dilakukan selama Ramadhan. Sebagaimana cita-cita mencapai derajat taqwa setelah melakukan ibadah puasa seperti yang telah Allah firmankan dalam surah al-Baqarah ayat 183.
Mengutip pendapat Ibnu Katsir mengenai tafsir surah al-Baqarah ayat 183, bahwa kewajiban puasa pada ayat tersebut dalam konteksnya ditujukkan kepada orang mukmin. Ibnu Katsir juga menyatakan lafazh shiyam (puasa) bermakna menahan diri dari makan-minum dan bersetubuh (jima’), serta dibarengi dengan niat ikhlas kepada Allah dengan tujuan membersihkan, menyucikan, dan memurnikan jiwa dari perbuatan yang buruk serta hina.
Konteks menahan diri di atas, berlaku pula pada bulan-bulan setelahnya. Ini berarti, perintah menahan diri tidak hanya berhenti di bulan Ramadhan saja tetapi dilakukan secara terus-menerus (kontinyu, istiqomah) hingga bertemu lagi dengan Ramadhan selanjutnya.
Namun, yang terjadi seringnya justru sebaliknya. Semangat ibadah selama Ramadhan, luntur dan menurun ketika memasuki bulan Syawal. Salah satu bukti yang dapat dilihat yaitu kembali sepinya masjid-masjid dari jamaah dan tadarrus Alquran.
Hal tersebut tentu berlawanan dengan semangat bulan Syawal, dimana Islam selalu menganjurkan umatnya untuk meningkatkan kualitas diri dan amal ibadah. Firman Allah dalam surah Hud ayat 112:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Oleh sebab itu, semangat selama Ramadhan harus tetap dilanjutkan ketika bulan Syawal serta bulan-bulan berikutnya. Syawal merupakan bulan pengecekan apakah berpengaruh tempaan yang dilakukan selama Ramadhan terhadap kebaikan diri seseorang di masa mendatang? Apabila ia berhasil, bisa diharapkan tempaan selama Ramadhan berbuah seperti yang dicita-citakan, yaitu mencapai derajat takwa.
Ibadah yang Dapat Dilakukan selama bulan Syawal
Tidak banyak amalan khusus yang ditetapkan pada bulan Syawal dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Meskipun demikian, Allah memberi kesempatan kepada umat Muslim melakukan puasa selama enam hari yang dikhususkan pada bulan Syawal.
Abu Ayyub Al Anshari radliallahu ‘anhu, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim).
Ibadah sunnah mempunyai kedudukan yang berbeda dengan ibadah wajib. Namun, ibadah tersebut memiliki banyak keutamaan dan nilai pahala. Bila dilakukan dengan ikhlas, tentu ganjaran pahala kebaikan dari Allah akan didapatkan oleh orang yang mengerjakannya. Disamping itu, anjuran puasa sunah Senin-Kamis, puasa sunah tiga hari (al-ayyam al-bidh) pada tanggal 13,14 dan 15 pada tiap bulan, dan beberapa puasa sunah yang lain
merupakan ibadah yang dapat dilakukan untuk mengisi semangat pada bulan Syawal.
Selain berpuasa, Rasulullah juga menganjurkan untuk melakukan shalat malam. Ibadah tersebut tentu saja tidak hanya berlaku pada bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda:
“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun malam, kemudian ia shalat dan membangunkan istrinya, jika istrinya menolak ia percikkah air ke wajahnya, dan semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun malam, kemudian ia shalat dan membangunkan suaminya, jika suaminya menolak ia percikkan air ke wajahnya.” (HR Abu Dawud).
Demikian pula dengan ibadah-ibadah lain, dapat dilanjutkan pada bulan-bulan setelahnya. Ibadah tersebut meliputi membaca Al-Quran, shalat malam, infaq, sedekah, dan ibadah lainnya. Setelah berlalunya Ramadhan, muhasabah diri dan melanjutkan segala amal shaleh yang telah dilakukan merupakan hasil yang diharapkan.
Selama diberi kesempatan untuk melakulan amal shaleh, pada bulan apapun itu segeralah untuk melaksanakannya. Tidak perlu menunggu Ramadhan selanjutnya untuk rutin membaca Alquran, berinfaq, dan bersedekah. Pada bulan-bulan lain pun ampunan Allah sangat luas bagi hamba-Nya yang ingin bertaubat dan mendekatkan diri pada-Nya.
Wallohul musta’an..