Penetapan Istitaah Kesehatan Haji;Menuju Jamaah Haji Indonesia yang Mabrur, Sehat dan Barakah
Oleh: dr. Oktina Fitriyani Petugas Penyelenggara Ibadah Haji Kloter 2023 (Dokter SOC 90)
Moderanesia.com – Perhelatan akbar prosesi haji Indonesia Tahun 2023 yang mengusung tagline Haji Ramah Lansia telah usai. Ada banyak peristiwa yang melingkupi prosesi haji, khususnya terkait pelayanan kesehatan haji. Hal ini patut dijadikan pelajaran dan pengalaman bagi lembaga penyelenggara haji, pengelola program haji dan petugas haji baik petugas layanan umum, ibadah maupun kesehatan. Berbagai permasalahan layanan kesehatan tersebut erat kaitannya dengan penetapan istitaah jamaah haji. Karena merupakan dasar dari pelaksanaan ibadah haji sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 97.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan, telah ditetapkan syarat kesehatan bagi jamaah haji Indonesia untuk bisa diberangkatkan yang lazim disebut dengan istitaah kesehatan. Istitaah kesehatan adalah kemampuan dan kemandirian jamaah baik secara fisik, mental dan sosial yang ditetapkan setelah melakukan serangkaian pemeriksaan kesehatan sebelum jamaah haji berangkat ke tanah suci. Dengan demikian, pemeriksaan kesehatan tersebut selayaknya menjadi syarat utama seseorang dapat melanjutkan proses keberangkatan ibadah hajinya. Pada kenyataannya antrian keberangkatan jamaah haji yang memakan waktu lama akan mempengaruhi kondisi masing-masing jamaah, sehingga kerap terjadi perubahan status istitaah bahkan sampai dengan sesaat sebelum jamaah diberangkatkan.
Istitaah menjadi syarat dilaksanakannya rukun Islam ke 5 ini, karena ibadah ini memang ibadah fisik, dibutuhkan istitaah prima meliputi istitaah yang bersifat umum (finansial) dan kesehatan (fisik dan mental). Proses penetapan istitaah kesehatan ini menarik untuk dibahas, apalagi dengan ditetapkannya tagline Haji 2023 Ramah Lansia. Inilah yang menjadikan istitaah kesehatan semakin penting untuk diketahui. Tidak menutup kemungkinan, tagline ini masih akan berlaku pada penyelenggaraan haji di tahun-tahun mendatang, mengingat antrian keberangkatan jamaah calon haji reguler saat ini rata-rata mencapai kurun waktu 30 tahun di Pulau Jawa. Nah, tulisan ini akan membahas seputar istitaah kesehatan pada jamaah calon haji reguler.
Istitaah Kesehatan
Status istitaah kesehatan jamaah calon haji yang dinyatakan dalam surat keterangan istitaah meliputi:
- Istitaah
- Istitaah dengan pendampingan (orang, obat, alat)
- Tidak Istitaah Sementara
- Tidak Istitaah
Kriteria Istitaah ke 2 dan 3 sebelum tahun 2023 tidak begitu banyak menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan haji. Hal ini dimungkinkan karena jumlah jamaah dengan risiko tinggi kesehatan tidak terlalu banyak. Akan tetapi saat penyelenggaraan haji tahun 2023 kriteria istitaah kesehatan ke 2 dan 3 inilah yang banyak menimbulkan masalah sehingga melahirkan usulan dan pendapat perlunya revisi kebijakan istitaah kesehatan.
Kriteria istitaah dengan pendampingan dan tidak istitaah sementara pada kenyataannya sering rancu. Jamaah kriteria istitaah dengan pendampingan utamanya pendampingan alat bantu jalan seringkali juga membutuhkan pendampingan orang. Penetapan pendampingan orang ini juga tidak mudah apalagi saat ini kebijakan menarik pendamping keluarga dari antrian kuota haji telah dicabut, sehingga terjadi risiko jamaah lanjut usia yang berangkat tanpa pendamping keluarga. Pendamping dari non keluarga ini tentunya dicarikan dari jamaah dan inipun menimbulkan masalah baru. Pendamping yang ditetapkan pada saat pemeriksaan istitaah dengan menandatangani surat kuasa pendampingan bermaterai, pada saat keberangkatan jamaah tidak selalu memahami kebutuhan pendampingan jamaah yang didampinginya. Hal ini menimbulkan gagasan untuk menghilangkan kriteria istitaah dengan pendampingan sehingga kriteria istitaah hasil akhir dari pemeriksaan tahap 2 hanyalah istitaah dan tidak istitaah.
Banyaknya jamaah dengan risiko tinggi kesehatan terkait dengan usia lanjut di tahun 2023 juga memunculkan masalah baru dalam penetapan istitaah. Jika selama ini kriteria istitaah lebih menitikberatkan pada kesehatan fisik, maka di tahun haji ramah lansia ini pemeriksaan kesehatan mental juga menjadi perhatian dan landasan dalam penetapan istitaah kesehatan. Status kesehatan mental pada jamaah sepuh dengan fisik yang tidak bermasalah tentu akan menjadi ganjalan dalam penentuan kriteria istitaah. Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak juga jamaah dengan kondisi demikian lolos berangkat sampai tanah suci dan menjadi permasalahan tersendiri pada saat prosesi haji. Beberapa jamaah dengan kondisi degeneratif dan status mental menurun berangkat tanpa pendamping keluarga. Permasalahan ini menjadi perhatian serius dari Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan sehingga diharapkan di tahun mendatang pemeriksaan kesehatan jamaah calon haji juga memperhatikan pemeriksaan kesehatan mental. Jika kebijakan mengenai istitaah kesehatan dan kriterianya kelak berubah, pemeriksaan kesehatan mental ini sangat perlu dilakukan baik bagi jamaah maupun untuk para calon pendamping jamaah dengan instrument pemeriksaan kesehatan mental yang lebih detil.
Pemeriksaan Kesehatan Haji
Penyelenggaraan haji di Indonesia setiap tahunnya ditetapkan oleh Menteri Agama yang ditandai dengan diterbitkannya rencana perjalanan haji tahun berjalan. Setelah itu para jamaah calon haji akan mulai melakukan pelunasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BIPIH). Pemeriksaan kesehatan yang telah dijalani oleh jamaah calon haji dengan dibuktikan terbitnya surat hasil pemeriksaan yang mencantumkan status istitaah jamaah calon haji menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi saat jamaah melunasi BIPIH. Hal ini rupanya tidak diterapkan di tahun 2023 di mana surat hasil pemeriksaan kesehatan tidak menjadi syarat pelunasan BIPIH. Wajar kiranya jika menjadi masalah mengingat jamaah calon haji tahun 2023 sebagian besar adalah usia lanjut yang telah mengantri sekitar 10 tahun sehingga status kesehatannya bisa jadi sangat berbeda dari status kesehatan saat pemeriksaan sebelum membayar setoran awal BIPIH dan menjadi tanda seseorang masuk ke dalam antrian keberangkatan haji.
Pemeriksaan kesehatan jamaah calon haji dimulai dari pemeriksaan tahap pertama di puskesmas sesuai domisili. Pemeriksaan ini ditandai dengan Surat Keterangan Sehat jamaah calon haji dan menjadi salah satu syarat setoran awal BIPIH. Pemeriksaan sederhana yang dilakukan meliputi; anamnesa dan pemeriksaan fisik ini dilakukan di Puskesmas, sehingga surat keterangan sehat pada pemeriksaan haji tahap pertama ini ditandatangani oleh dokter puskesmas. Setelah itu jamaah calon haji membawa surat keterangan sehat dan mendaftarkan diri di Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota kemudian menyetorkan setoran awal BIPIH di bank penerima setoran biaya haji dan langsung masuk antrian keberangkatan jamaah haji di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu(SISKOHAT). Pada pemeriksaan tahap pertama ini belum ada penetapan status istitaah, akan tetapi apabila saat pemeriksaan tahap pertama telah diketahui adanya kondisi yang termasuk dalam kriteria “tidak istitaah menetap” maka dokter pemeriksa dapat memberikan edukasi dan mestinya surat keterangan sehat tidak dapat diterbitkan.
Sebelum tahun 2010 rata-rata antrian keberangkatan haji hanya berkisar 1-2 tahun, akan tetapi era setelah 2010 rata-rata antrian keberangkatan haji sudah bertambah menjadi 5-10 tahun dan di tahun 2023 antrian ini sudah memasuki kurun 30 tahun sejak setoran awal BIPIH. Sehingga ketika tahun 2010 pemeriksaan tahap pertama ini bisa jadi hanya dilakukan satu kali. Akan tetapi ketika antrian sudah lebih dari 2 tahun tentu sudah terjadi banyak perubahan status kesehatan jamaah calon haji, sehingga pemeriksaan tahap pertama ini akan diulang saat jamaah calon haji telah dinyatakan masuk kuota haji tahun berjalan. Berulangnya pemeriksaan kesehatan ini berisiko menambah beban pembiayaan haji yang harus ditanggung jamaah di luar BIPIH yang disetorkan. Untuk diketahui bahwa semua pemeriksaan kesehatan di tahap 1 dan 2 pembiayaannya tidak termasuk dalam skema BIPIH.
Pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan tahap ke 2, yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan ketika jamaah calon haji telah dinyatakan masuk kuota haji tahun berjalan. Jamaah calon haji kembali mendatangi puskesmas sesuai domisili, kemudian akan dilakukan pemeriksaan; anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium oleh dokter puskesmas. Hasil pemeriksaan tahap 2 diinput dalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Bidang Kesehatan(SISKOHATKES). Setelah pemeriksaan di puskesmas, jamaah calon haji akan melanjutkan dengan pemeriksaan oleh dokter spesialis yang ditunjuk dan di-SK-kan sebagai Tim Pemeriksa Jamaah Haji oleh Kepala Daerah Tingkat II. Hasil dari pemeriksaan tahap 2 adalah Surat Keterangan Istitaah yang ditandatangani oleh Ketua Tim Penyelenggara Kesehatan Haji Kabupaten/Kota(Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota).
Tenggat waktu pelunasan BIPIH di tahun 2023 terlalu sempit sehingga mempengaruhi proses pemeriksaan tahap ke 2 dan terjadilah perubahan prosedur di mana hasil pemeriksaan tahap 2 tidak lagi menjadi syarat pelunasan BIPIH. Maka sudah dapat diprediksi jika kemudian muncul banyak masalah terkait istitaah kesehatan ini. Jamaah dengan hasil pemeriksaan tahap 2 masuk dalam kriteria tidak istitaah sementara tidak sempat melakukan perbaikan kondisi kesehatannya sehingga pada saat pemberangkatan ke embarkasi jamaah ini bisa jadi ikut diberangkatkan dengan mendapatkan surat keterangan istitaah dengan pendampingan, akan tetapi pendamping yang mendampingi pun bukan keluarga jamaah tersebut.
Pemeriksaan tahap 3 dilaksanakan di Embarkasi Haji pada saat jamaah calon haji sudah dalam proses pemberangkatan ke tanah suci. Setelah terbit surat keterangan istitaah bagi jamaah calon haji dengan kriteria istitaah dan istitaah dengan pendampingan maka selanjutnya adalah proses keberangkatan dari daerah asal menuju embarkasi haji dan selanjutnya perjalanan ke tanah suci. Dengan berubahnya prosedur pelunasan BIPIH tahun 2023 di mana Surat Keterangan Istitaah tidak menjadi syarat pelunasan dan sempitnya tenggat waktu pelunasan BIPIH dengan jadwal keberangkatan haji, maka pada saat pemeriksaan ketiga di embarkasi semakin banyak ditemukan jamaah yang tidak istitaah sementara dan bahkan tidak istitaah lolos berangkat sampai ke embarkasi. Sebelum era 2023 ini juga beberapa kali ditemukan jamaah dengan kriteria tidak istitaah baik sementara maupun menetap lolos sampai ke embarkasi akan tetapi jumlahnya meningkat di tahun 2023 ini.
Pemeriksaan tahap 3 bertujuan untuk menetapkan kriteria laik dan tidak laik terbang pada jamaah calon haji. Selayaknya jamaah dengan kriteria istitaah tentu memenuhi kriteria laik terbang, akan tetapi jamaah dengan kriteria istitaah dengan pendampingan seringkali masuk kriteria tidak laik terbang saat di embarkasi dan dibutuhkan perbaikan kondisi kesehatan dengan merujuk jamaah tersebut ke fasilitas kesehatan rujukan. Sehingga bisa dibayangkan jika jamaah dengan kriteria tidak istitaah sementara maupun tidak istitaah menetap sampai ke embarkasi haji tentu saja sangat mungkin masuk dalam kriteria tidak laik terbang.
Pembicaraan mengenai penyelenggaraan kesehatan haji hampir setiap tahun membahas tentang adanya jamaah tidak istitaah yang lolos sampai ke embarkasi dan terpaksa dipulangkan lagi ke daerah asal. Usulan perbaikan untuk mengatasi masalah ini terkait dengan prosedur pemeriksaan tahap 2, waktu pemeriksaan tahap 2 dan pengambilan keputusan terkait kriteria istitaah jamaah calon haji pun sudah berkali-kali mengemuka. Terkait hal ini penting untuk dijadikan pegangan oleh para dokter pemeriksa, baik di pemeriksaan tahap 1 maupun di pemeriksaan tahap 2, adanya ketegasan dalam penetapan istitaah utamanya bagi jamaah yang masuk kriteria tidak istitaah, baik sementara maupun menetap dan mengkomunikasikan dengan baik kepada jamaah calon haji dan keluarganya.
Edukasi bagi jamaah calon haji dan keluarganya terkait kriteria istitaah dapat berupa motivasi untuk perbaikan kondisi kesehatan bagi jamaah kriteria tidak istitaah sementara dan juga motivasi dengan memberikan alternatif badal haji bagi jamaah kriteria tidak istitaah. Edukasi istitaah kesehatan bagi jamaah calon haji dapat dilakukan dalam kegiatan manasik kesehatan haji sepanjang tahun. Betapa berat tugas seorang dokter yang harus memutuskan kondisi tidak istitaahnya seseorang. Bisa dipastikan akan terasa seperti mencegah dan melarang seseorang untuk menunaikan ibadah wajib yang sudah diidam-idamkan sekian tahun lamanya. Perlu disadari dan dijadikan pegangan bahwa itulah wujud amanah dari kompetensi dokter. Walaupun demikian, berdasarkan kebijakan penetapan istitaah yang dituangkan dalam surat penetapan istitaah dan ditandatangai oleh ketua tim penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota, sehingga penetapan istitaah kesehatan seorang jamaah calon haji merupakan keputusan bersama tim pemeriksa, bukan keputusan dokter pemeriksa semata.
Meraih Istitaah Kesehatan Menuju Haji Mabrur, Sehat dan Barakah
Gambaran jamaah calon haji dengan kriteria istitaah tentu sudah tidak diragukan lagi, yaitu jamaah dengan kesehatan fisik dan mental yang prima. Jamaah calon haji reguler yang telah berproses dan bersabar menunggu sekian tahun lamanya untuk berangkat ke tanah suci tentu juga melalui proses yang tidak mudah untuk mempertahankan status atau kriteria istitaahnya. Rata-rata orang Indonesia mampu membayar setoran awal biaya haji di usia 40-50 tahun, maka jika antrian keberangkatan 10 tahun saja jamaah tersebut akan berangkat di usia 50-60 tahun. Jika saat ini antrian memasuki kurun waktu 30 tahun maka jamaah yang mendaftar di usia 40-50 tahun tersebut akan berangkat di usia 70-80 tahun, rentang usia yang bisa dikatakan masuk kriteria risiko tinggi kesehatan.
Dengan panjangnya masa antrian jamaah calon haji Indonesia tersebut, maka upaya untuk menjaga kesehatan para jamaah calon haji ini menjadi semakin penting untuk diperhatikan. Tujuan dari kegiatan menjaga kesehatan jamaah calon haji ini tentu saja agar saat nanti berangkat mendapatkan ketetapan kriteria “istitaah” untuk status istitaah kesehatannya. Jamaah haji perlu mempelajari lagi cara-cara untuk menjaga kesehatannya, memeriksa kesehatannya secara rutin jika merasakan ada gangguan kesehatan meskipun ringan. Di samping itu jamaah calon haji juga mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan penyakit menular di antaranya dengan melakukan vaksinasi yang dipersyaratkan maupun yang dianjurkan untuk jamaah calon haji.
Masa sebelum seseorang ditetapkan masuk dalam kuota haji tahun berjalan lazim disebut dengan masa tunggu haji. Jamaah calon haji yang masuk dalam masa antrian atau masa tunggu ini dapat melakukan konsultasi rutin dengan dokter untuk pemantauan status kesehatannya. Dalam konsultasi kesehatan jamaah calon haji masa tunggu ini dokter dapat merencanakan aktifitas untuk menjaga kebugaran dan kesehatan jamaah calon haji. Peluang pemeriksaan dan konsultasi kesehatan untuk jamaah calon haji ini seharusnya dapat ditangkap oleh fasilitas kesehatan untuk menyelenggarakan paket layanan kesehatan khusus bagi jamaah calon haji masa tunggu.
Seorang jamaah calon haji dengan kesehatan prima tentu saja akan meraih kriteria istitaah kesehatan yang menjadi syarat ditunaikannya ibadah haji. Istitaah kesehatan dapat dikatakan menjadi syarat mutlak karena dalam menjalankan ibadah haji seseorang harus dalam kesadaran penuh dan kemampuan fisik yang baik sehingga mampu memahami syariat/fiqih dan manasik haji demi tercapainya haji mabrur.
Perjalanan haji regular jamaah Indonesia ditempuh selama 40 hari, sehingga selama menunaikan ibadah di tanah suci tentu diharapkan selalu dalam kondisi sehat. Perbedaan iklim dan suasana di tanah suci juga menuntut kemampuan fisik yang prima sehingga dapat mengadaptasi perbedaaan tersebut. Adanya penyakit-penyakit menular yang mungkin dibawa oleh sesama jamaah haji dari negara lain maupun penyakit endemik di tanah suci merupakan faktor risiko kesehatan yang juga bisa diantisipasi dengan cara menjaga kesehatan sebelum keberangkatan. Jamaah calon haji pun bahkan harus mempersiapkan diri untuk aktifitas pasca ibadah haji di tanah air sehingga diharapkan dapat menjaga status kesehatannya dengan baik. Dengan demikian dapat diharapkan jamaah calon haji Indonesia telah siap menjalankan ibadah haji dan meraih haji mabrur dengan kesehatan prima serta menjadi barakah untuk diri, keluarga maupun lingkungannya.
Penutup
Untuk dapat melaksanakan ibadah haji mutlak dipenuhi syarat istitaah utamanya istitaah kesehatan. Syarat istitaah kesehatan telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah yang mana perlu disesuaikan lagi dengan kebutuhan dan perubahan-perubahan dalam penyelenggaraan ibadah haji sehingga perlu kiranya untuk ditinjau ulang. Penentuan kriteria istitaah kesehatan yang selama ini dipenuhi dengan dilakukannya pemeriksaan kesehatan tahap demi tahap, perlu dilakukan dalam jangka waktu yang cukup dan dengan menambahkan instrumen pemeriksaan kesehatan mental. Jumlah jamaah calon haji usia lanjut yang signifikan, menuntut peningkatan layanan pemeriksaan sehingga akan didapatkan hasil pemeriksaaan yang lebih teliti dan menjadi dasar penetapan istitaah dengan lebih baik.
Jika kriteria istitaah tidak berubah dan tetap ada jamaah calon haji dengan kriteria istitaah dengan pendampingan maka selayaknya diterbitkan kembali aturan mengenai adanya pendamping keluarga. Jamaah calon haji usia lanjut mutlak membutuhkan pendampingan dari keluarga. Kedua opsi ini layak dipertimbangkan dan dipilih salah satunya dalam menentukan kebijakan keberangkatan jamaah haji reguler:
Pertama, meniadakan kriteria istitaah dengan pendampingan jika mempertahankan kebijakan penghapusan pendamping keluarga
Kedua, membatalkan penghapusan pendamping keluarga, sehingga jamaah calon haji dengan kriteria istitaah dengan pendampingan dapat menarik pendamping keluarga dari antrian keberangkatan.
Ketika berbincang tentang ibadah haji, mustahil tanpa ada pembahasan tentang istitaah kesehatan. Apalagi dengan adanya kenyataan jamaah yang puluhan tahun mengantri, bertambah usia dalam antrian dan karenanya mengalami perubahan kemampuan fisik dan mental. Sebuah usulan yang mungkin terdengar absurd, tapi perlu dipertimbangkan adalah moratorium pendaftaran/setoran awal haji. Perlu berapa lama moratorium diterapkan, sangat perlu penelitian dan kajian serius mengenai hal ini. Moratorium bukan untuk mencegah warga negara beribadah haji, akan tetapi lebih ke arah pengurangan masa antrian ibadah haji dan merapikan pengelolaan keuangan haji. Penetapan moratorium sebaiknya juga dibarengi dengan pengkajian ulang besaran setoran awal biaya haji dan antrian yang terpisah bagi yang melakukan pembayaran haji menggunakan dana talangan.
Wallahu a’lam bissawwab.