KIAT MENGHADAPI ‘BULLYING’ VERBAL
( oleh Siti Awaliya Yuniarti, PAIF Kab. Tegal )
TEKS HADIS:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi wasiat kepada Jabir bin Sulaim,
وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
Artinya:
“Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan At Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
KONTEKSTUAL
“Bullying” berasal dari kata “bully” merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disamakan dengan kata perundungan yang artinya proses, cara, perbuatan merundung. Maksudnya proses perbuatan yang menggunakan kekuasaannya untuk mengintimidasi orang yang lebih lemah darinya. Perilaku ini bisa berupa fisik, verbal atau psikologis.
Pada era gadget ini sangat marak perilaku “cyberbullying” atau melakukan perundungan dengan sarana media sosial. Dalam keseharian kita bergaul pun sudah sangat lazim ditemui kondisi ini, terutama perundungan verbal atau psikologis. Seperti “Body shaming” atau mengolok-olok kondisi fisik seseorang juga sangat banyak dijumpai. Terkadang perilaku ini bahkan seperti hal yang wajar dilakukan. Padahal ia bisa menjadikan unsur penyebab tindak kriminal yang lebih fatal. Perilaku menghina atau memaki dan mempermalukan sangat rentan menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana bahkan hingga hilangnya nyawa manusia. Orang yang merasa dibully cenderung ingin membalas makian dan hinaan itu. Bisa juga memendam dendam kesumat dan berlanjut ke ranah yang lebih parah.
Allah Subhanahu wa ta’ala telah mewanti-wanti kepada kaum mukmin untuk tidak melakukan olok-olok dalam firman-Nya di Al Qur’an surah Al Hujurat (49) ayat 11;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Rasululloh Shallallu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam teks hadis tersebut di atas, bahwa kita tidak perlu membalas hinaan atau makian dan perilaku orang-orang yang telah mempermalukan kita, karena hinaan dan makian itu akan kembali pada diri orang yang menghina. Jika kita berbalik menghina atau mempermalukan, maka keadaan itu akan terus menerus berlanjut bahkan bisa lebih parah. Siapa yang bahagia dengan keadaan ini? Tentu saja setan yang dilaknat Allah, karena kondisi umat menjadi ‘chaos’ atau kacau.
Banyak kisah teladan dari Rasululloh Muhammad SAW saat beliau dihina dan dipermalukan, namun beliau tidak membalas bahkan mendo’akan kebaikan. Seperti saat Rasululloh ke Thaif untuk berdakwah kepada penduduknya, ternyata yang diterima penolakan dan perbuatan yang tidak menyenangkan. Namun Rasululloh malah mendo’akan kebaikan dan mencegah Malaikat Jibril yang bersiap menimpakan gunung kepada penduduk Thaif kala itu.
Jadi mari kita coba meneladani akhlak Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi hinaan dan makian. Meski secara naluriah, jika kita dihina atau dipermalukan apalagi di depan orang banyak akan bangkit rasa untuk membalas perlakuan tersebut.
Wallohul musta’an