Filosofi Sluku-Sluku Bathok
Oleh : Siti Awaliya Yuniarti (PAIF Kota Tegal)
Dahulu, para wali menggunakan berbagai metode dakwah dalam mengenalkan agama Islam, seperti melalui nasehat yang baik, kesenian dan lainnya. Khusus masyarakat Jawa dimana penetrasi adat-adatnya sudah begitu kuat melekat, para wali lebih banyak melakukan eksplorasi budaya Jawa. Sunan Kalijaga termasuk salah satu wali yang berjasa melestarikan adat kebiasaan sekaligus memasukkan nilai-nilai Islam ke masyarakat. Diantara hasil karya beliau adalah lagu ‘dolanan’ (mainan) anak berikut ini :
“ Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, si romo menyang Solo, le-olehe payung montho. Mak jenthit lo lo bah, wong mati ora obah, nek obah medeni bocah. Nek urip goleko dhuwit.”
Lagu ini tak sekedar lagu dolanan yang tanpa makna tapi mengandung unsur-unsur pendidikan. Sluku-sluku berasal dari bahasa Arab dengan asal kata ‘salaka-yasluku’ yang artinya berjalan. Bathok adalah kulit keras kelapa yang menyerupai batok kepala. Hingga jika disambungkan akan bermakna berjalannya kepala alias berjalannya kehidupan seorang anak manusia. Bathoke ela-elo, bermakna kepalanya menengok-nengok ke kiri dan kanan. Ingatkah anda bahwa orang yang sedang melafadzkan dzikir ‘Laa ilaaha illallah’ biasanya menengokkan kepalanya ke kanan dan kiri (ela-elo). Jadi bathoke ela-elo melambangkan seseorang yang sedang berdzikir. Si Romo menyang Solo ( Si Bapak pergi ke Solo ), kenapa mesti ke Solo? Tidak ke Demak, Kudus, Semarang dan lainnya. Solo disini diambil dari kata ‘Sholla’ atau musholla. Ini menggambarkan seorang bapak (manusia yang sudah cukup umur) pergi ke musholla. Oleh-oleh (buah tangan) apakah yang biasanya di bawa dari musholla? Biasanya orang yang sedang beribadah buah tangannya adalah ingat mati, maka terciptalah le-olehe payung montho. Payung montho merupakan sebutan bagi payung yang mengiringi jenazah menuju pemakaman.
Tahukah anda, orang Jawa sering mengatakan bahwa perilaku orang yang sedang sholat itu ‘jenthat-jenthit’ , karena gerakan sholat yang dinamis menggunakan berdiri, ruku’ , sujud dan berdiri kembali. Hingga ‘ mak jenthit lo lo bah’ . Wong mati ora obah, nek obah medeni bocah , artinya orang mati tidak bergerak, kalau bergerak menakuti anak-anak, bahkan kadang orang dewasa juga ikut takut. Nek urip goleka dhuwit, kalau hidup carilah uang (penghidupan). Kita ingat Firman Allah SWT ; “Carilah kehidupan akheratmu denga napa yang telah Allah anugerahkan, tapi jangan lupakan bagianmu di dunia”. (QS. Al Qashshash : 77)
Sesungguhnyalah hal utama yang mesti dicari dan dipertanyakan adalah kepentingan akherat kelak, namun tanpa menafikan keperluan kita di dunia fana ini. Maka dalam Islam antara kehidupan akherat dan keperluan dunia harus berimbang. Bahkan Allah lebih menyukai ‘tangan di atas daripada tangan di bawah’ dan menyukai ‘muslim yang kuat daripada muslim yang lemah’. Juga Nabi Muhammad mengajarkan: “Carilah akheratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari dan carilah duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya”. Kebenaran dari penafsiran tembang ini hanya Allah dan pengarangnya yang tahu, namun setidaknya kita bisa mengambil nasehat bijak yang terkandung di dalamnya. Sambil bersenandung ‘Sluku-sluku bathok’ bersama anak-anak, mari mengingat Kembali esensi hidup di dunia ini. Sekedar makan untuk hidup atau hidup untuk makan ? Semoga tembang dolanan anak peninggalan wali ini tak sekedar dihafal saja, tapi bisa menjadi renungan untuk sejenak mengingat tujuan Allah menciptakan jin dan manusia, yakni untuk beribadah. Baik berupa ritual ibadah mahdhoh maupun ibadah dalam arti luas. Akhirnya semoga kita menjadi orang-orang yang baik di penghujung umur atau khusnul khotimah..