ARTIKELRefleksi

Pendidikan Politik Dalam PILKADES

Berbagi yuks..

Oleh : Ety Wulandari (PAIF Kab. Kendal)
Moderanesia.com – Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi. Pilkades merupakan kegiatan politik sebagai sarana masyarakat memilih pimpinan desanya selama 6 tahun ke depan, masyarakat dilatih untuk peduli kepada desanya memilih siapa, apa dan bagaimana calon pemimpin mereka. Yang menarik dalam Pilkades dibanding pemilu legislative, pilpres, pilgub maupun pilbup adalah pihak-pihak yang terkait dengan pilkades mempunyai kedekatan dan keterkaitan dalam relasi sosial mereka, mulai dari penyelenggara, pemilih dan calon pemimpin saling mengenal satu sama lain. Dengan demikian suhu politik saat berlangsungnya pilkades lebih terasa dibanding dengan suhu politik saat pemilu-pemilu lain.
Pendidikan politik bagi masyarakat bisa dimulai dari Pilkades. Partisipasi politik masyarakat akan berjalan dengan lancar dalam event pilkades apabila aspek perilaku politik masyarakat desa,sosialisasi politik serta komunikasi politik berjalan dengan baik. Ketiga aspek itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisah. Etika politik dalam kampanye seharusnya dengan etika yang baik. Maka harusnya hindari black campange, intrik-intrik terror, politik uang, politik identitas dalam kampanye hanya akan menciderai demokrasi, hindarii kepentingan pribadi dan sesaat utamakan kepentingan bersama suasana kondusif harus diciptakan oleh semua pihak.
Komunikasi yang baik dalam politik akan tercipta kondusifitas lingkungan, sosialisasi program kerja, visi, misi calon yang penting disampaikan dalam kampanye, bukan malah mengangkat kekurangan dan kelemahan lawan. Hal ini penting dipahamai oleh masyarakat dan penyelenggara pilkades.
Pilkades merupakan pemilihan pimpinan yang sejak dulu dilakukan dengan cara pemilihan langsung. Namun seringkali demokrasi pilkades ternoda dengan adanya politik uang, kriminalitas saat pemilu dan intimidasi. Kesuksesan demokrasi diukur dengan bekerjanya tiga nilai penting, yaitu kontestasi (kompetisi), liberalisasi dan partisipasi. Ketiganya disandarkan pada kebebasan individu, khususnya kebebasan untuk (freedom for) berkompetisi memperebutkan jabatan melalui proses pemilihan. Kebebasan menggunakan hak suara tanpa tekanan, tanpa ancaman dan tanpa mobilisasi. Setiap orang mempunyai hak memperoleh informasi mengenai calon.
Pengenalan atau sosialisasi terhadap calon-calon pemimpin bukan lagi mutlak harus dilaksanakan dalam pilkades. Para bakal calon biasanya sudah dikenal oleh masyarakat yang akan memilih. Sosialisasi visi, misi dan program kerja calon pemimpin penting dilakukan sebagai upaya kampanye. Pelaksanaan sosialisasi ini harus dilakukan para bakal calon jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan pilkades. Baik melalui alat peraga kampanye seperti poster, baliho selebaran-selebaran maupun pertemuan langsung dengan warga melalui kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di masayrakat seperti pertemuan PKK, pertemuan pemuda, kelompok-kelompok pengajian dan lain-lain. Untuk mengambil hati calon pemilih agar menjatuhkan pilihan kepadanya.
Namun sosialisasi visi, misi dan program kerja jarang sekali dilaksanakan oleh para bakal calon. Dalam mengambil hati masyarakat agar menjadi pemilihnya sering mengabaikan etika politik yang menodai nilai demokrasi seperti melakukan teror terkadang juga menggunakan hal-hal ghoib. Selain itu isu minoritas dan politik identitas menjadi hal menarik dalam kampanye. Politik uang berupa pemberian yang dilakukan calon pemimpin kepada calon pemilih lumrah terjadi, janji-janji politik seperti pembagian bengkok desa untuk kepentingan sosial seringkali menjadi pemikat warga dalam menentukan pilihannya. Kedekatan pribadi juga sering kali jadi alasan dalam menentukan pilihannya. Persaingan antar calon, tim sukses dan pendukung sering kali terjadi berlebihan yang mengakibatkan suasana politik memanas bahkan ada yang sampai terjadi tindakan kriminal.
Oleh karena itu pendidikan politik perlu dikembangkan, rela berkorban untuk kepentingan desa karena desa merupakan bagian dari bangsa. Jika persatuan kesatuan desa terjaga maka persatuan dan kesatuan bangsa juga terjaga. Pemahaman bahwa memilih dalam pemilu tidak diukur dengan nominal uang bisa dipahami masyarakat desa, maka budaya politik uang bisa hilang di Indonesia. Tentu membutuhkan waktu, sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat. Dengan demikian pemilihan legislative, pemilihan eksekutif bisa berjalan dengan baik terhindar dari money politik dan demokrasi yang bermartabat bisa terwujud di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *