ARTIKELOpini

Meneguhkan Indonesia Negara Syariat

Berbagi yuks..

Oleh : Mahsun (Ketua POKJALUH Jateng)

Moderanesia.comKita perlu meneguhkan lagi Indonesia merupakan negara syari atau sesuai syariat. Peneguhan ini penting karena tema “Indonesia Maju” pada Dirgahayu Republik Indonesia tahun 2020 ini harus bebas konflik atas nama suku, agama, ras, antargolongan yang berkepanjangan.

Apa bukti Indonesia negara yang sudah sesuai syariat? Meski Indonesia bukan negara Islam atau berbentuk Islam, namun dalam konteks ini bukan pada bungkus, sistem, atau bentuk pemerintahannya, melainkan pada substansinya. Syariat itu pada initnya hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Apakah umat Islam di Indonesia tidak demikian? Tentu sudah final, dan semua umat Islam sudah melakukan itu semua.

Namun mengapa masih ada segelintir kelompok yang kon­tra­pro­duktif dengan peneguhan “Indonesia negara syarí” tersebut. Buktinya, fenomena konservatisme, jihad buta atas nama agama, bahkan terorisme yang didorong karena klaim kebenaran dan monopolisme ideologi masih mem­ba­hana. Ironisnya, hal itu masuk ke ruang pendidikan yang harusnya steril dari virus tersebut.

Mohammad Nasir ketika menjabat Menristek Dikti menyebut tujuh Per­guruan Tinggi Negeri (PTN) terpapar radikalisme. Indikatornya, terdapat dosen dan mahasiswa berfaham menuntut perubahan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebelumnya, riset Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang terhadap 17 Rohis SMA di Jawa Tengah menyebut ada dua tipe Rohis yakni yang tetap menginginkan NKRI dan yang mengi­nginkan khilafah.

Jihad dan Syariat

Dinamika di atas menegaskan gagasan mengubah NKRI nyata ada di tengah kita. Alasannya, NKRI tidak sesuai syariat Islam, dan usaha mengubahnya adalah jihad. Karenanya, dibutuhkan ikhtiar untuk menuturkan NKRI sebagai warisan  ulama dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun benarkah argumen tersebut?

Jihad sering dikonotasikan dengan terorisme dan anarkisme. Ini adalah anggapan keliru. Kata “jihad” berasal dari “jaahada” (Arab) bermakna ber­su­ng­guh-sungguh. Merujuk Nasaruddin Umar (2008), terdapat tiga kategori ji­had. Per­tama, jihad ashghar (jihad kecil) yaitu perang fisik.

Kedua, jihad akbar (jihad besar) yaitu memerangi hawa nafsu. Ketiga,  jihad ghayatul Akbar (puncak jihad) yaitu perpaduan antara perjuangan jasmani dan ruhani, misal berkarya profesional di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, politik, agama, dan lainnya.

Intinya, jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah Swt sesuai dengan tujuan syariat Islam. Dalam ushul fikih, tujuan syariat Islam di­namakan maqashidus syari atau disebut maqashid.

Menurut Imam Ghazali, pelaksanaan syariat Islam memiliki 5 tujuan, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seluruh penetapan hukum atau pelaksanaan syariat harus bertujuan untuk melindungi atau menjaga kelima hal tadi. Jika ada gerakan apapun meng­at­as­na­ma­kan syariat Islam tetapi faktanya merusak, bisa dipastikan itu bukan pelaksanaan syariat Islam.

Dalam konteks bernegara, menjadi Islam dan nasionalis menjadi satu tarikan nafas dan sudah final. Berislam, atau beragama lain, bukan berarti harus melepas baju nasionalisme kita. Inilah inti dari jihad dan syariat, karena Islam tetap berjalan dengan tengah heterogenitas budaya, bahasa, dan warna kulit kita.

Warisan Ulama dan Santri

Ahmad Mansur Suryanegara (2010) membuktikan NKRI merupakan per­ju­ang­an ulama dan santri. Pada fase ke­ba­ng­kitan nasional hingga pra pr­oklamasi, mereka aktif berjuang melalui wadah organisasi pergerakan, seperti Sjarikat Islam, Sjarikat Dagang Islam, Djamiat Choir, Persjarikatan Moehammadijah, Persjarikatan Oelama, Pergerakan Tarbijah Islamijah, Matlaoel Anwar, Nahdhatoel Oelama, Persatoean Islam dan  yang lain.

Pada fase ini, juga terjadi diskusi dan perpecahan antara gerakan tentang isu fiqh dan politik. Tahun 1937, perten­tangan itu melunak, dan mereka sepakat membentuk Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI). Melalui wadah inilah mewujud embrio pilihan pada bentuk darussalam NKRI.

Secara bersamaan, akhir tahun1924, Turki Usmani runtuh dan muncul nasionalisme di Timur Tengah. Selama Turki Usmani berdiri, jazirah Arab (sekarang adalah Arab Saudi) tidak pernah bergabung secara politik dan justru disana berdiri beberapa kerajaan kecil (emirat). Kekhalifahan sebelumnya, seperti Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiyah, juga tercatat tidak berhasil menyatukan semua wilayah Islam sedunia. Catatan sejarah ini mem­be­ri­ta­hukan bahwa gagasan Pan-Islamisme belum pernah terbukti berhasil.

Kemudian pilihan para ulama pada NKRI dapat dilihat pada proses peru­bahan sila pertama Pancasila ala Piagam Jakarta menjadi teks Pancasila seperti yang kita kenal hari ini. Dasarnya adalah praktek Rasulullah dalam memimpin kota Madinah yang tetap menjamin dan memberikan hak sosial, agama dan ekonomi bagi nonmuslim. Hal ini terekam dalam Piagam Madinah.

Andai para ulama pendiri bangsa memilih model negara Islam, tentu sangat bisa.

Namun menimbang kemajemukan bangsa Indonesia dan teladan Rasulullah saw melalui Piagam Madinah, para ulama memilih bentuk NKRI melalui Peristiwa Proklamasi, dan sehari setelahnya me­ne­tapkan UUD 1945 dan Pancasila. Dan tahun 1950 kembali menegaskan pilihan pada sistem NKRI.

NKRI: Negara sesuai Syariat

Dapat kita rasakan bersama bahwa NKRI dengan seluruh tatanannya selaras dan dengan maqashid. Pertama, menjaga agama (hifz al-din) berarti memberi kebebasan beragama kepada pemeluk agama untuk meyakini dan melaksanan ajaran agamanya. Kedua, memelihara kehidupan (hifdz al-nafs) dan kelestarian umat dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun luar negeri.

Ketiga, menjaga akal (hifdz al-aql) berarti menggalakkan rasioanalitas, pendidikan dan memerangi kebodohan. Keempat, menjaga keturunan (hifdz al-nasl) adalah melindungi kehormatan lembaga keluarga sebagai unit terkecil dari negara. Kelima menjaga harta (hifdz al-mal) adalah melindungi sumber daya alam negara dan memanfaatkannya demi kepentingan rakyat. Sampai di sini, telah nyata bahwa NKRI merupakan negara yang Islami.

Secara substansial, agama dan nasio­na­li­sme menjadi satu tarikan nafas, dan saling menguatkan. Bahkan Pancasila adalah perwujudan Alquran dan Islam itu sendiri dalam sila-silanya. Masalahnya, selama ini kita hanya memahami agama hanya dari bungkusnya saja, belum sampai sub­sta­n­sinya.

Mari syukuri anugerah NKRI sebagai darussalam. Mari tuturkan sejarah NKRI sebagai warisan ulama dan santri kepada pemuda dan remaja, anak cucu kita. Mari sosialisasikan fakta ”NKRI berlandaskan maqashid”. Mari berikrar bahwa jihad hari ini adalah merawat NKRI sebagai darus­salam.

sumber : https://matabanua.co.id/ telah dimuat di harian mata banua (19/08/2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *