ARTIKELRefleksi

Menapaki Akhir Sya’ban

Berbagi yuks..

Oleh : Fajri Raudlatun Ni’mah (PAIF Kab. Kendal)

Moderanesia.com – Bulan Rajab telah pergi meninggalkan kita semua. Hitungan tahun hijriah telah membawa kita memasuki bulan Sya’ban. Bahkan pada hari ini usia bulan Sya’ban kurang dari separuhnya. Ini artinya kita sudah begitu dekat dengan bulan suci Ramadan. Untuk itu kita tentu harus terus mempersiapan diri, baik secara fisik maupun mental untuk menyongsong bulan yang penuh berkah ini.

Ada hal yang istimewa di dalam bulan Sya’ban. Ia menjadi jembatan menuju bulan Ramadan. Itulah sebabnya mengapa bulan ini dikatakan Sya’ban. Sya’ban yang berasal dari kata syi’ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya, bulan Sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah untuk hambanya dalam menapaki dan memantapkan diri sebagai persiapan menyongsong bulan puncak bernama ‘Ramadhan’.

Rasulullah saw bersabda:

 رَجَبُ شَهْرُ اللهِ، وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ، وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ

Artinya, “Bulan Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (HR ad-Dailami).

Dari hadits ini dapat kita ambil tiga pemahaman. Diantaranya adalah :

Pertama, Bulan Rajab disebut sebagai شَهْرُ اللهِ bulan Allah, maksudnya bahwa Allah telah menetapkan hitungan bulan dalam satu tahun berjumlah 12 bulan. Diantara 12 bulan itu, ada arba’atun hurum, yaitu 4 bulan yang dimuliakan Allah sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 3:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”

Empat bulan yang dimaksud adalah bulan Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab.

Kedua, bulan Sya’ban disebut sebagai  شَهْرِيْ atau bulannya Rasul karena Allah menurunkan ayat perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana yang tercantum dalam Surat al-Ahzab ayat 56 pada bulan Sya’ban:

 إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan mufassir, sepakat bahwa ayat ini turun di bulan Sya’ban. Secara bahasa, shalawat berakar dari kata shalât yang berarti do’a. Dalam ayat tersebut ada tiga shalawat, shalawat yang disampaikan Allah, shalawat yang disampaikan malaikat, dan (perintah) shalawat yang disampaikan umat Rasulullah ﷺ. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Allah bershalawat” bermakna Dia memuji Nabi, “Malaikat bershalawat” berarti mereka sedang berdo’a, sementara “manusia bershalawat” selaras dengan pengertian mengharap berkah.

Ayat tersebut menjadi bukti kedudukan Rasulullah yang tinggi. Kemuliaan dan rahmat dilimpahkan langsung oleh Allah kepada beliau, malaikat-malaikat dan seluruh kaum beriman pun diperintah untuk mengucapkan shalawat kepadanya. Wajar sekali bila Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak shalawat di bulan Sya’ban dengan maksud agar kita bergegas membersihkan diri atau bertobat dari kesalahan-kesalahan yang sudah lewat guna menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih.

Allah telah memilih Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memikul beban dan tanggung jawab menyampaikan risalah-Nya. Sebagai bukti betapa mulia dan tingginya derajat serta maqam nabi tercinta dan sikap bersyukur atas keberkahan risalah yang diembannya, serta bukti cinta kita kepada nabi-Nya, maka Allah perintahkan kepada umatnya untuk bershalawat kepadanya dan menjadikannya sebagai bentuk taqarrub dan ibadah yang agung di kehadirat-Nya.

Para malaikat memiliki berbagai janji serta memberi jaminan kepada orang orang yang gemar bersholawat. Pada suatu kesempatan Rasulullah ﷺ sedang berkumpul dengan para sahabat, kemudian beliau ﷺ bersabda :

أَتَانِيْ جِبْرَائِيْلُ وَإِسْرَافِيْلُ وَعِزْرَائِيْلُ وَمِيْكَائِيْلُ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَام

“Malaikat Jibril, Israfil, Izrail dan Mikail عليه السلام telah mendatangiku.”

فَقَالَ جِبْرَائِيْلُ: يا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ عَشْرَ مَرَّاتٍ اَنَا آخِذٌ بِيَدِهِ وَاَمُرُّهُ عَلَى الصِّرَاطِ

Berkata Malaikat Jibril عليه السلام : “Wahai Rasulullah, barang siapa yang membaca sholawat kepadamu setiap hari sebanyak 10 kali, maka akan aku bimbing tangannya dan akan aku bawa dia melintasi titian (Shiratal Mustaqim).”

Dalam pemahaman ini, Shiratal Mustaqim adalah titian atau jembatan yang mesti dilalui oleh setiap insan di alam akhirat kelak. Titian inilah yang menghubungkan antara padang mahsyar dengan Surga dan di bawahnya terdapat Neraka. Keadaan orang yang meniti di atasnya dan kecepatannya tidak sama. ada yang secepat kerdipan mata, ada yang seperti kilat, ada yang seperti angin dan sebagainya. Dan ada pula yang terjatuh di tengah jalan dan langsung masuk neraka.

وَ قَالَ مِيْكَائِيْلُ: أَنَا اَسْقِيْهِ مِنْ حَوْضِكَ

Berkata pula Malaikat Mikail عليه السلام :

“Mereka yang bersholawat kepadamu akan aku beri mereka minum dari telagamu.”

Telaga Al-Kautsar adalah telaga milik Rasulullah ﷺ, sumber air yang sangat jernih yang disediakan untuk umatnya. Tetapi tidak semua Umat Rasulullah ﷺ dapat menikmati air dari telaga tersebut, hanya mukmin-mukmin pilihan yang akan dapat menikmatinya.

وَ قَالَ إِسْرَافِيْلُ: أَنَا أَسْجُدُ للهِ تَعَالَى مَا أَرْفَعُ رَأْسِيْ حَتَّى يَغْفِرَ اللهُ لَهُ.

Berkata pula Malaikat Israfil عليه السلام :

“Mereka yang bershalawat kepadamu, aku akan sujud kepada ALLAH سبحانه وتعالى dan aku tidak akan mengangkat kepalaku sehingga ALLAH سبحانه وتعالى mengampuni dosa-dosa orang tersebut.”

وَ قَالَ عِزْرَائِيْلُ: أَنَا أَقْبِضُ رُوْحَهُ كَمَا قَبَضْتُ أَرْوَاحَ اْلأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ

 Malaikat Izrail عليه السلام juga berkata :

 “Bagi mereka yang bershalawat kepadamu, akan aku cabut ruh mereka dengan lembut, sebagaimana aku mencabut ruh para Nabi.”

Kemudian sabda Rasul yang menyatakan bahwa وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ Ramadhan adalah bulan umatku, maksudnya bahwa Ramadan adalah bulan yang harus dilalui oleh orang-orang mukmin untuk meningkatkan ibadah yang penuh tantangan dengan berpuasa sebulan penuh.Tantangan berat tersebut tampak sejak dari redaksi kalimat yang dipilih Allah ketika mewajibkan puasa:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS al-Baqarah: 183).

Pada ayat tersebut Allah menyapa orang beriman dengan ungkapan يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا. Ini menandakan bahwa puasa meniscayakan iman yang kuat sebelum betul-betul sanggup menunaikan kewajiban ini. Inti dari puasa adalah menahan, sebagaimana arti shaum secara bahasa adalah imsâk (menahan). Makna “menahan” tersebut pada pengertian yang lebih hakiki adalah menahan diri dari nafsu untuk berbuat buruk. Artinya, puasa tidak hanya berhubungan masalah perut dan kelamin tapi juga jiwa manusia untuk selalu terhindar dari perbuatan tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Karena itu, yang dijaga bukan satu atau dua anggota badan, melainkan seluruh anggota tubuh agar berlaku sesuai tuntunan syariat-Nya. Dan muara dari puasa adalah agar para pelakuny naik derajat, yaitu menjadi orang-orang yang bertaqwa.

Mudah-mudahan pada bulan Sya’ban ini kita senantiasa diberi kekuatan, kemudahan dan kemampuan untuk memperbanyak kebaikan dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga kita bisa mempersiapkan segala amal ibadah di bulan Ramadan sehingga kita termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *