Keseimbangan Hukum Agama dan Hukum Negara
Keseimbangan Hukum Negara dan Hukum Agama
Oleh: Nur Budi Handayani *)
Aksi- aksi teror dengan dalih agama yang terjadi di negara ini selalu berhubungan dengan cita-cita sebagian kelompok masyarakat untuk merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini menjadi negara agama. Alasan dasar kelompok tersebut, saat ini sistem pemerintahan NKRI tidak berlandaskan hukum Tuhan (agama), melainkan hukum manusia.
Sebagai konsekuensi dari dogma akan cita-cita negara agama di atas, selanjutnya lahir sikap yang memandang semua pihak di luar kelompoknya sebagai musuh dan penghalang berdirinya negara agama, sehingga sah untuk dilawan, diperangi dengan segala cara bahkan dibunuh. Maka sebagaimana yang sudah tercatat dalam sejarah, terjadilah bermacam peristiwa teror yang mengabaikan nilai universal kemanusiaan dan kemaslahatan umat manusia, yang menurut mereka demi menegakkan negara agama.
Perbandingan tidak sepadan
Logika yang dibangun oleh kelompok yang mencita-citakan Indonesia sebagai negara agama biasanya dibuka dengan perbandingan yang tidak sebangun. Sebagai contoh membandingkan kitab suci dengan Pancasila, ini bukanlah perbandingan apple to apple. Ketika dihadapkan pada pertanyaan, memilih Pancasila atau kitab suci, akan melahirkan jawaban yang berbeda-beda. Cara pandang yang ditawarkan adalah bahwa kitab suci sebagai produk Tuhan sedangkan Pancasila adalah produk manusia. Kotradiksi ini menggiring logika produk Tuhan lebih tinggi dari produk manusia.
Membandingkan dua hal yang tidak sebangun menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan. Sebagai misal, bicara kecepatan tempuh dengan membandingkan moda sepeda motor dengan pesawat terbang. Contoh lain, membandingkan volume air dengan mengambil sampel kolam renang dengan danau. Tentu hal ini bukanlah perbandingan yang setara.
Perbandingan yang tidak sepadan ini melahirkan konklusi yang tidak tepat. Sama halnya ketika bicara perbandingan produk Tuhan dalam bentuk kitab suci dengan produk manusia berupa Pancasila. Semua logika pasti menyatakan produk Tuhan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan produk manusia. Terlebih jika dihadapkan pada keharusan memilih salah satu.
Penggiringan cara berpikir seperti ini menjadi satu pintu masuk untuk membangun perspektif bahwa sistem kenegaraan Indonesia dengan segala perangkat hukumnya saat ini hanyalah produk manusia. Akibat logisnya terbentuk cara berpikir, perilaku dan sikap yang anti konstitusi.
Sampai saat ini sudah banyak terjadi bermacam peristiwa yang menunjukkan perilaku dan sikap anti konstitusi sebagai akibat perspektif Indonesia ini berdasar pada hukum-hukum buatan manusia. Narasi yang dibangun adalah idealisme menata ulang Indonesia di atas dasar teks-teks kitab suci atau dengan hukum Tuhan.
Kesadaran akan keberagaman bangsa
Diskusi dan bahkan polemik menjadikan Indonesia sebagai negara agama atau negara berdasarkan Pancasila sebenarnya sudah ada sejak jaman pra kemerdekaan. Namun perjalanan sejarah kemudian mencatat, bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) kita bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar tatanan bangsa ini pada tahun 1945.
Mundur pada tahun 1928, para pemuda sudah memiliki kesadaran tentang adanya banyak perbedaan yang hidup dalam bentangan nusantara ini. Penerimaan terhadap adanya kebhinekaan tersebut bahkan kemudian menjadi kekuatan bersama yang dibakukan dalam sebuah gerakan besar bernama Sumpah Pemuda.
Kesepakatan bersama ini dilandasi oleh satu kesadaran bahwa bangsa Indonesia terdiri dari agama, suku, ras dan bahasa yang sangat beragam. Bangsa Indonesia sebagai wadah bersama yang ditempati oleh keanekaragaman tersebut telah terang benderang tercermin dalam “bhineka tunggal ika”.
Catatan emas sejarah tentang persatuan di atas perbedaan bangsa Indonesia yang sedemikian monumental ini haruslah kita wartakan, ceritakan, tuliskan secara berantai tanpa terputus dari generasi ke generasi. Pewarisan sejarah ini sangat dibutuhkan oleh para generasi milenial di era digitial sekarang ini, agar mereka mengerti bahwa diskusi dan pembandingan hukum Tuhan (agama) dengan hukum manusia sudah diselesaikan dan diwariskan oleh para pendiri bangsa ini.
Indonesia bukan negara agama bukan sekuler
Tercatat 633 bahasa dan 652 suku yang mendiami bangsa Indonesia. Lalu apa bentuk negara yang diwariskan oleh para leluhur kita? Menyitir istilah yang terkenal dari Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia), negara Indonesia adalah negara “yang bukan-bukan” yakni bukan negara agama sekaligus bukan negara seluler.
Negara yang berdasar pada hukum agama merupakan negara yang menjadikan salah satu agama sebagai dasar hukum dalam bernegara secara formal dan berlaku bagi siapa saja yang berada dalam teritorial negara tersebut meski berbeda agama. Adapun negara sekuler merupakan negara yang menyerahkan agama sebagai urusan privat warga negara, sehingga negara tidak hadir mengatur agama di ruang publik.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai konsensus bersama yang berisikan tentang substansi ajaran Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan.
Semua hukum konstitusi dan turunannya berlandaskan pada ajaran Ketuhanan yang Maha Esa. Tidak ada satu aturanpun yang kemudian menegasi tentang ketuhanan atau dengan kata lain, seluruh konstitusi dan aturan turunannya pada hakekatnya tidak akan mengingkari ajaran Tuhan (hukum agama). Bukan dalam bentuk formal atas nama agama tertentu, namun dalam bentuk nilai-nilai atau secara substansial.
Keberimbangan hukum agama dan negara
Pada perkara-perkara tertentu yang menjadi kepentingan umat beragama oleh negara dikembalikan kepada substasni ajaran agama masing-masing dan dibungkus dalam regulasi yang diterbitkan oleh otoritas tertentu. Sebut misalnya beberapa regulasi seperti undang-undang perkawinan, undang-undang zakat, undang-undang wakaf, dan regulasi lainnya.
Ditarik dalam perspektif lebih luas, maka sesungguhnya keberadaan konstitusi dan regulasi yang beririsan langsung dengan ajaran- ajaran agama secara nyata menjadi sebuah bukti bahwa di Indonesia benar-benar terdapat keseimbangan hukum agama dengan hukum negara.
Hadirnya institusi Kementerian Agama merupakan terjemah operasional dari hadirnya negara dalam mengelola kehidupan umat beragama di Indonesia. Tidak hanya agama tertentu, namun semua agama diberi ruang hidup sebagaimana termaktub dalam Undang Undang PNPNS nomor 1 tahun 1965. Bahkan saat ini, kerukunan umat beragama menjadi salah satu prioritas dari pembangunan nasional. Penguatan moderasi beragama terus digerakkan sebagai upaya untuk mewujudkan harmoni antar umat beragama. Dengan tertanamnya moderasi beragama, maka semua warga negara memiliki sikap dan perilaku toleransi, anti kekerasan, komitmen kebangsaan dan menghargai tradisi. (***)
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Ahli Madya / Fasilitator Moderasi Beragama