Puncak Kesempurnaan Spiritualitas
Oleh Wajihudin
Moderanesia.com – Nabi Muhammad saw. mencapai puncak kerohaniannya saat sampai ke Şidratu al-Muntahá dan ‘bertemu’ dengan Allah. Tetapi beliau pulang ke bumi dan berada di tengah-tengah umat. Semestinya, beliau asyik saja dengan-Nya karena telah berada pada level tertinggi kerohanian dan mustahil dicapai manusia biasa.
Artinya, ada makna duniawi pada puncak kerohanian seseorang, yakni ‘turun’ membaur dengan sesama hambaNya untuk membangun kehidupan yang mulia dan luhur. Seseorang yang mencapai puncak kerohanian, tidak seharusnya merasa cukup ‘aku telah dekat’ dengan Allah. Sebaliknya turut serta mensucikan kehidupan dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Maka, wujud nyata ibadah yang dilakukan di rumah ibadah adalah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya salat. Umat Islam percaya Allah perintahkan salat pada saat Nabi ‘bertemu’ dengan-Nya di malam Mi’raj (Q.S.Al-Ankabut[29]:45). Sebelum Nabi Muhamad pun, para Nabi mengejakan ibadah salat (Q.S. Ali Imran[3]:39; Yunus[10]:87; Ibrahim[14]:37-40; Maryam[19]:30-33,58; Al-Anbiya’[21]:73).
Awalnya, salat dilakukan untuk mengingat-Nya (Thaha[20]:14). Namun saat perintah ditujukan kepada Nabi Muhamad saw. dan umatnya, salat menjadi ibadah yang serba cakup. Tidak sekadar menghadap dan mengingat Allah, tetapi melihat dan mengingat sesama manusia. Ada implikasi kemanusiaan, yaitu memperbanyak kebaikan, menjauhi kejahatan, saling menopang serta menghindari perbuatan keji dan mungkar (Q.S. Al-Ankbut[29]:45; Al-Ma’un[107]:1-7; Al-Baqarah[2]:43; Al-Hajj[22]:77). Maka, bisa dimaklumi jika salat tidak sebatas lima waktu (Q.S.An-Nisa’[4]:103), melainkan sepanjang hidup dan selama nafas berhembus (Al-An’am[6]:92; Al-Ma’arij[70]:23,34) seraya tunduk kepada Allah (Q.S. Al-Mukminun[23]:2).
Ayat-ayat di atas memberi gambaran relasi salat dalam dimensi sosial. Ibadah tidak terbatas di tempat ibadah yang dianggap sebagai rumah Tuhan, melainkan pembauran dan relasi dalam kehidupan sehari-sehari. Ketika tunduk kepada Allah di tempat ibadah, demikian pula seharusnya saat di luar tempat ibadah. Demikian halanya, tidak sekadar berpuas diri atas hubungannya dengan Tuhan. Jika demikian, ibadah bersifat simbolik, belum aktual dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah ibadah sekadar puas dengan simbol keagamaan untuk membuktikan bahwa kita adalah orang yang beragama dan ber-Tuhan ? Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari tidak sebagaimana orang yang berTuhan ?. Seorang yang tunduk kepada Tuhan di tempat ibadah, selayaknya adil, peduli, inklusif, manusiawi dan rendah hati. Hal demikian selaras dengan spiritualitas kerasulan. Rasulullah kembali ke bumi untuk membimbing, menyuluh, mendidik, dan memimpin manusia tanpa pandang suku, agama, ras dan keyakinan menuju pengenalan Tuhan, kesucian, ilmu pengetahuan dan kebjiksanaan (Q.S.Al-Baqarah[2]:129; Ali Imran[2]:164; Al-Jumu’ah[64]:2). Semua tindakan duniawinya, merupakan aktualisasi puncak spiritualitas dan implementasi ibadah kepada Allah Swt..
Bumi merupakan tempat ibadah yang sangat luas. Q.S. Al-Baqarah[2]:21-22). Tidak sekadar di tempat yang bernama rumah ibadah yang justru mempersempit pengertian kita tentang ibadah yang sesungguhnya. Nabi menyatakan,”Seluruh bumi adalah mesjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian.”(HR. Turmuzi). Adapun rumah ibadah seharusnya merupakan awal-pijak untuk melakukan ibadah yang lengkap dalam kehidupan sehari-hari. “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja,”(Q.S.Al-Ankabut[29]:56).
Hakikat beribadah adalah sepanjang hidup, di manapun dan kapan pun. Kadang saat kita berada di dalam tempat ibadah; kita memuja Tuhan secara khusyu’ (tunduk), namun saat berada di jalan, kantor, pabrik dan rumah; kita menghina, mengeluarkan kata-kata kotor dan berbuat zalim. Ketika kita telah merasa baik sebagai umat Tuhan, maka hanya mendapatkan kebanggaan dan keangkuhan. Bila demikian, maka sesungguhnya ibadah kita kosong dari kemanusiaan. Seseorang yang merasa hamba Tuhan, melihat manusia sebagai sesama hambaNya; meskipun dalam kedudukan duniawi yang berbeda.
Para utusan Allah adalah orang yang sangat dekat dengan Tuhan, tetapi mereka juga sangat dekat dengan manusia. Rumahnya tidak terdinding oleh kedudukannya di sisi Allah. Hatinya selalu terbuka untuk manusia yang paling hina sekalipun. Mereka adalah pribadi yang berketuhanan dan berkemanusiaan; berpikir ukhrawi dan bertindak dunawi. Seseorang yang khusyu’ beribadah juga harus hadir di tengah-tengah umat manusia dengan sifat-sifat ketika dia sedang menghadap Tuhan. Baik di hadapan Tuhan, berarti baik kepada sesama hambaNya.
Oleh sebab itu, berketuhanan juga semestinya berkemanusiaan. Dalam berketuhanan itulah, seorang hamba Tuhan melihat persoalan sesama manusia semisal kelaparan, penjajahan, kebodohan, keamanan, kesehatan dan lingkungan. Dengan lain kata, berkemanusiaan (humanitas) menunjukkan puncak kesempurnaan spiritualitas hamba Tuhan. Wa Alláhu ‘alamu bi al-şawáb. []