Kontempelasi Budaya Muharaman, Ajang Implementasi Moderasi Beragama
( Oleh : Siti Awaliya Yuniarti, PAIF Kab. Tegal )
Moderanesia.com – Geliat Muharam pasca pandemi. Setelah sekian lama kegiatan peringatan tahun baru Islam yang jatuh pada 1 Muharam kini mulai semarak kembali. Meski saat ini tengah menghadapi pekerjaan rumah (PR) membangkitkan kembali gairah perekonomian rakyat. Akibat hempasan dampak pandemi yang nyaris terjadi di segala lini. Kondisi ini kemudian mengharuskan manusia kembali mengingat titah Ilahi Robbi. Agama yang semula hanya ditangkap sebagai ajang memperoleh kesalehan individual kini mulai dilirik untuk juga membangkitkan kesalehan sosial. Dan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin) menggema kembali.
Tantangan zaman yang paling mendesak masa kini ialah bagaimana menciptakan masyarakat yang lebih santun dan bisa menghilangkan kesengsaraan sosial serta rohaniah mereka. Untuk menjawabnya, memerlukan tindakan agama yang partisipatoris. Tidak hanya faham teks-teks agama tapi juga konteksnya yang menyangkut problema umat keseharian. Sehingga agama secara substansial mampu mendampingi perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan mendasar dewasa ini.
Pada gelaran Muharoman, ada 12 amalan yang bisa dilaksanakan, mengutip dari Kitab Nihayatuz Zain karya Syekh Nawawi Al Bantani. Diantara amalan tersebut ada yang bersifat kesalehan individual dan kesalehan sosial. Yang mengandung kesalehan pribadi yakni sholat sunah tasbih , puasa sunah tasu’a dan asyuro, mandi, bercelak, memotong kuku dan membaca surat Al Ikhlas. Sedangkan yang berdimensi sosial yaitu sedekah, memberi keluasan nafjah pada keluarga, menengok orang sakit, mengunjungi orang alim yang sholih, mengusap kepala anak yatim dan bersilaturahim.
Dikutip dari kitab Tanbihul Ghofilin karya Imam Abu Laits As Samarqandi, bahwa diantara peristiwa yang terjadi di sepuluh Muharam menunnjukkan kemenangan beberapa Nabi utusan Allah. Mulai dari diterimanya taubat Nabi Adam, mendaratnya kapal Nabi Nuh di gunung Jud, Nabi Ibrahim diselamatkan dari kobaran api Raja Namrud, Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan Nun. Kemudian Fir’aun ditenggelamkan di laut Merah dan Nabi Musa selamat , Nabi Isa diangkat ke langit, Nabi Ayub sembuh dari penyakitnya.
Dari sejarah dan gelaran amaliah Muharom ini, setidaknya ada 4 (empat) karakteristik moderasi beragama yang bisa diimplementasikan. Pertama, melahirkan karakter tasamuh atau toleransi dalam pengungkapan rasa syukur akan nikmat yang telah Allah berikan. Dimana sukacita bersama telah dianugerahkan kepada para Nabi beserta umatnya.
Kedua, menumbuhkan sikap al-musawah (kesamaan diri sebagai manusia). Ada beberapa persamaan sejarah yang terjadi di beberapa umat dalam tanggal dan bulan yang sama. Ayat-ayat Al Qur’an tentang kemanusiaan perlu dimengerti dan dipahami secara luas, semisal Surat Al Hujurat ayat 13 :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Memanusiakan manusia sangat erat kaitannya dengan etika, baik terhadap mereka yang seagama, suku, golongan maupun yang berbeda bahkan juga dengan yang tidak seagama. Namun mungkin pula digunakan untuk memahami watak dan karakter orang yang berbeda-beda. Dalam lingkungan seagama pun tindakan seperti menghargai perbedaan pendapat hendaknya dapat disadari sebagai bagian dari panorama kehidupan. Bila demikian, perbedaan yang terjadi sungguh-sungguh membawa rahmat, bukan sebaliknya membuat petaka. Realitas ini akan semakin lengkap manakala dibumbui dengan sejarah perkembangan Islam, utamanya contoh-contoh perilaku dan budi pekerti Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, menumbuhkan dimensi ‘adalah (seimbang, sejalan, setaraf). Sebagaimana tercantum di Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Hal yang penting untuk diberdayakan karena sifat monopoli atau tamak sering dominan. Tamak di bidang ekonomi (ingin cepat kaya), politik (ingin berkuasa), hukum (ingin menang sendiri), dan bidang sosial (ingin martabat dan wibawa) kini semakin merajalela. Tidak jarang jika semua keinginan ini timpang dengan tindakan, maka akan meciptakan laku individu dan sosial yang arogan serta menghalalkan segala cara. Sehingga kriminalitas semakin bersahaja di depan kita.
Ketiga, terjalinnya sikap kepekaan terhadap lingkungan masyarakat (al-ihtimamu al-ijtima’i). Dalam ajaran Islam , kepedulian ini ditampilkan dengan pelaksanaan sedekah pada anak yatim dan dhu’afa. Membangun relasi kasih sayang dan kepedulian sekitar di tengah realitas umat yang papa dan merana. Pada ungkapan kegembiraan peringatan Muharam biasanya masyarakat mengumpulkan dana untuk menyantuni anak-anak yatim secara serentak dan tersistematis. Termaktub dalam banyak firman Allah, diantaranya:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Al Isra’: 26)
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۗ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tentang dunia dan akherat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Baqarah: 220)
Keempat, pada tahap ini juga nampak dimensi tawazun (berimbang) antara memikirkan kehidupan dunia dan akherat. Dimana pencarian harta tidak hanya untuk kepentingan dunianya , tapi juga untuk menaikkan derajat di akherat. Dengan jalan berbagi rezeki berupa harta dengan kaum dhu’afa.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al Qashash: 77)
Tanpa mengurangi makna amaliah, demikianlah beberapa implementasi moderasi beragama dalam spiritualitas keagamaan.