LainnyaMATERI

Keutamaan Niat

Berbagi yuks..

Oleh : Siti Choiriyah, S.Ag. MH (PAIF Kab. Jepara) 

Bunyi teks hadits

عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya : “ Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perbuatan itu bergantung pada niat. Setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya. Orang-orang yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan rasul-Nya. Sementara orang-orang yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Mengutip dari buku Al-Wafi: Syarah Hadits Arbain Imam An-Nawawi oleh Musthafa, berikut adalah hadis Arbain ke-1:[1]

Asbabul Wurud hadits

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang pria yang ingin melamar seorang wanita. nama wanita itu adalah Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu “maka ia akan mendapatkannya”.[2]

Hadis ini termasuk hadis penting dalam Islam, karena mengandung dasar agama dan menjadi rujukan bagi sebagian besar hukum Islam. Oleh karena itu, para ulama senang meletakkan hadis ini sebagai pembuka kitab yang disusunnya.[3] Hal lain yang menunjukkan pentingnya hadis ini adalah seringnya Rasulullah dan Umar menyebut hadis ini dalam khotbahnya, seperti yang diriwayatkan Bukhari. Sedangkan, Abu Ubaid berkata, “Tidak ada hadis yang memiliki manfaat lebih banyak dan kaya daripada hadis ini.” Maka tidak heran jika dalam kitab Arbain Nawawi hadits ini menjadi primadona dan diletakkan  pada permulaan[4]

Imam Asy Syafi’I berpendapat hadits ini bisa masuk kedalam 70 bab fikih dan disebut sebagai tsulutsul Islam atau sepertiganya Islam.  Kenapa bisa dikatakan sepertiga ilmu ? karena sesungguhnya perbuatan seorang hamba adakalanya dari hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, maka niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut dan lebih kuat karena niat terkadang menjadi ibadah yang tersendiri sedangkan selainnya butuh terhadap niat. Oleh karenanya ada hadits yang mengatakan “Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya[5] Sedangkan Imam Ahmad Bin Hambal dikatakan sebagai salah satu hadits pokok dalam agama Islam atau di sebut ushul al-Islam.[6] Imam An Nawawi menyebutkan Niat adalah ukuran keshahihan amal perbuatan. Jika niatnya benar, amalannya pasti benar namun jika niat rusak, rusak juga amalnya[7]

Para ulama sepakat bahwa pekerjaan yang dilakukan seorang mukmin tak dianggap sebagai ibadah dan tak akan mendapat pahala jika tak dimulai dengan niat. Maka dari itu, niat dalam ibadah seperti salat dan puasa, sudah ditentukan. Niat ada di dalam hati, tidak harus disebutkan. Bila seseorang telah berniat, tetapi memiliki halangan untuk melaksanakannya, misalnya, sakit, ia tetap mendapat pahala karena niat baiknya. Sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat.[8]  Sebagaimana Firman Alloh SWT dalam surat al-Bayyinah ayat 5

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii sabiilillah. Niat menjadi rahasia dan ruh sebuah ibadah yang  dikerjakan sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hajj ayat 37. Bahwa niat kita berqurban adalah untuk mencapai ketakwaan kepada Alloh SWT

Kedudukan niat lebih sempurna dari amal. Sebagaimana disampaikan Tsabit Al-Banani bahwa seorang mukmin yang berniat melakukan ibadah pada waktu malam, berpuasa di siang hari dan mendermakan sebagian hartanya. Namun kenyataan yang terjadi tidak bisa mengamalkan semua itu. Maka niatnya jadi sempurna daripada amalnya. Meski begitu pandangan ini jangan dijadikan pembenar bagi kita untuk mementingkan niat saja tanpa amal. Justru harus menjadi penguat apa pun yang akan dilakukan yakni dengan cara meniatkannya terlebih dahulu. Seperti sebelum  menghampiri tempat tidur di malam hari kita berniat untuk bangun tengah malam. Dan kala tengah malam ternyata tidak terjaga, maka ibadah sholat malam pun telah dicatat oleh Alloh SWT[9] Dari asbabul wurud hadits ini, dapat disimpulkan bahwa setiap muslim berupaya untuk hijrah atau berproses untuk menjadi lebih baik dari masa lalunya. Hijrah disini maknanya meninggalkan kemaksiatan dan keburukan serta hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hingga menjadi hamba yang taat dan ridho atas ketetapan-Nya. KH Bahauddin Nursalim sering memberikan quote sederhana bahwa “sibuk terberat dalam hidup ini adalah taat kepada Allah SWT dan taat terberat itu adalah  menyabari keadaan yang kita alami saat kini “


[1] Imam Nawawi menjadikannya sebagai pembuka kitab Al-Adzakar dan Riyadhus-Shalihin,

[2] Ahmad Ibn Hambal, Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:74-75.

[3] Imam Bukhari meletakkan hadis ini sebagai mukadimah kitab sahihnya

[4] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasqi , Hadits Arbain Nawawi

[5] Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam syarhnya (hlm. 27)

[6] Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (1:61)

[7] Syaikh Mahmud Al-Mishri ‘Ensiklopedi Akhlak Rasulullah Jilid 1

[8] Kitab Ad Dardir, asy-Syarhul Kabir jilid pertama ditulis bahwa jumhur fuqaha, -kecuali mahdzab Hanafi-, menyatakan hukum niat adalah wajib apabila menjadi sarat sah sebuah perbuatan. Misalnya: wudhu, mandi wajib, tayamum, sholat, puasa, haji, zakat

[9] Hilyah Al-Auliya (2/326)).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *