Istinja’ & Larangan Ketika Buang Air
oleh : Ali Mustofa ( PAIF Kab. Demak )
Istinja’
Istinja’ (cebok) yaitu membersihkan sisa kotoran dari alat kemaluan baik qubul maupun dubur. Hukumnya adalah wajib bagi orang yang selesai buang air kecil maupun besar. Hal ini sebagai upaya untuk menyucikan diri dari najis.
Allah telah berfirman dalam Qqur’an surah At Taubah: 108
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ …
Artinya :
Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (108)
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melalui dua kubur, lalu bersabda:
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بَيْنَ النَّاسِ بِالنَّمِيْمَةِ.
Artinya :
“Sesungguhnya mereka berdua diadzab. Mereka tidak diadzab karena dosa besar. Salah seorang di antara mereka diadzab karena tidak bersuci dari kencingnya. Sedang yang lain karena suka menggunjing di antara manusia.” (Muttafaq ‘alaihi)
Kemudian Syaikh Abū Syujā’ dalam kitab al-Ghāyah wa at-Taqrīb mengatakan:
والاستنجاء واجب من البول والغائط والأفضل أن يستنجي بالأحجار ثم يتبعها بالماء ويجوز أن يقتصر على الماء أو على ثلاثة أحجار ينقي بهن المحل فإذا أراد الاقتصار على أحدهما فالماء أفضل
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa istinja’ dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:
- Menggunakan kombinasi antara 3 batu kemudian dilanjutkan dengan air, dan cara ini adalah yang paling utama
- Menggunakan air saja, dan ini adalah yang paling utama jika ingin memilih salah satu dari keduanya
- Menggunakan 3 batu saja.
Seseorang yang menghendaki istinja’ menggunakan batu saja, maka disyaratkan harus menggunakan paling sedikit 3 batu atau 3 sudut yang berbeda dari satu batu yang sama. Batu yang dimaksud di sini bisa juga digantikan dengan benda padat yang suci, bisa menghilangkan kotoran dan tidak dimuliakan oleh syari’at.
أو الحجر وما في معناه من كل جامد طاهر قالع غير محترم
Selain berjumlah paling sedikit 3, istija’ menggunakan batu dianggap cukup apabila najis yang keluar belum kering, tidak berpindah dari tempat keluarnya dan tidak terkena najis lain yang tidak sejenis (ajnabi). Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka harus istinja’ menggunakan air.
Larangan Ketika Buang Air
Bagi orang yang buang hajat di tempat lapang, artinya di selain tempat yang disediakan khusus untuk buang air, wajib baginya untuk menghidari menghadap dan membelakangi kiblat, yaitu Ka’bah. Hal ini wajib apabila antara dia dan kiblat tidak ada penghalangnya (satir), atau ada penghalangnya, namun tingginya tidak mencapai 2/3 dzira’, atau mencapai 2/3 dzira’, namun jaraknya dari dia lebih dari 3 dzira’ dengan ukuran dzira’nya anak Adam.
ويجتنب استقبال القبلة واستدبارها في الصحراء ويجتنب البول والغائط في الماء الراكد وتحت الشجرة المثمرة وفي الطريق والظل والثقب ولا يتكلم على البول والغائط ولا يستقبل الشمس والقمر ولا يستدبرهما
Selain itu, ia disunnahkan untuk menghindari beberapa hal, yaitu:
- Buang air di air yang tenang (tidak mengalir)
Adapun air yang mengalir, maka di makruhkan buang hajat di air mengalir yang sedikit, tidak yang banyak. Akan tetapi yang lebih utama adalah menghindarinya.Namun Imam an-Nawawi membahas bahwa hukumnya haram buang hajat di air yang sedikit, baik yang mengalir atau diam.
- Buang air di bawah pohon yang bisa berbuah
Anjuran untuk tidak buang air di bawah pohon yang bisa berbuah ini sifatnya adalah mutlak. Artinya, baik pohon itu sedang berbuah ataupun tidak tetap sama saja.
- Buang air di jalan, tempat berteduh dan lubang
Jalan yang dimaksud adalah jalan yang biasa dilewati oleh manusia. Kemudian tempat berteduh maksudnya adalah tempat berteduh saat musim kemarau. Termasuk juga tempat berjemur saat musim dingin. Adapun lubang, maksudnya adalah lubang yang ada di tanah, yakni lubang bulat yang masuk ke dalam tanah.
- Berbicara selama buang air
Anjuran untuk tidak berbicara ini adalah ketika dalam keadaan normal. Lain halnya jika dalam keadaan darurat yang menuntut seseorang untuk berbicara, seperti orang yang melihat seekor ular yang hendak menyakiti seseorang, maka saat seperti itu tidak dimakruhkan berbicara.
- Menghadap atau membelakangi matahari atau bulan
Untuk yang terakhir Imam an-Nawawī menganggapnya tidak masalah. Artinya tidak masalah menghadap atau membelakangi matahari maupun bulan.
لكن النووي في الروضة وشرح المهذب قال أن استدبرهما ليس بمكروه. وقال في شرح الوسيط أن ترك اسقبالهما واستدبارهما سواء أي فيكون مباحا. وقال في التحقيق أن كراهة استقبلهما لا أصل لها.
Akan tetapi di dalam kitab ar-Raudlah dan Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawī berpendapat bahwa sesungguhnya membelakangi matahari dan rembulan (saat buang hajat) tidaklah dimakruhkan.
Di dalam kitab Syarh al-Wasīht, beliau berkata bahwa sesungguhnya tidak menghadap dan tidak membelakangi keduanya adalah sama, maksudnya hukumnya mubah. Di dalam kitab at-Tahqīq, beliau berkata bahwa sesungguhnya kemakruhan menghadap matahari dan rembulan tidak memiliki dalil.