Ibu, Sang Penjaga Peradaban
oleh : M. Muchson Thohier *)
Moderanesia.com – Setiap tanggal 22 Desember biasanya ruang-ruang percakapan penuh dengan ungkapan puja puji mengenai Ibu. Digelarlah diskusi, seminar, simposium, halaqah ataupun lomba-lomba dengan tema seputar perempuan atau ibu. Di media sosial kalimat-kalimat indah, lagu-lagu merdu, ucapan selamat, ungkapan rasa syukur juga kisah-kisah inspiratif yang sengaja dikhususkan demi merayakan kemuliaan seorang ibu sangat mudah ditemukan.
Tentu fenomena semacam itu sangat bisa dimengerti. Tanggal 22 Desember memang telah ditetapkan sebagai Perayaan Hari ibu. Pada tahun ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ibu yang ke 86. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu merupakan bentuk nyata pengakuan negara atas jasa-jasa para perempuan atau ibu bagi keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa. Jasa-jasa yang tidak bisa dipungkiri siapa pun karena begitu terang benderang keberadaannya.
Jasa terbesar para perempuan, khususnya yang telah menjadi ibu, adalah sebagai Ibu Kehidupan. Bila hari ini masih ditemukan denyut kehidupan, masih ada berbagai peradaban dengan manusia sebagai aktor utamanya, itu tidak lain karena masih ada manusia yang punya kesadaran untuk melakukan regenerasi. Masih banyak para perempuan yang rela mengandung dan bangga menjadi seorang ibu.
Bayangkan bila para perempuan ogah mengandung, tak sudi lagi melahirkan. Andai mereka ingin menikmati hidup tanpa direcoki oleh anak. Bukankah hampir semua orang sepakat bahwa mengurus dan membesarkan anak adalah urusan yang tidak ringan? Apalagi di zaman seperti sekarang?. Terlalu banyak hal yang bisa menjadi pengganggu bagi tumbuh kembang anak secara sehat. Lalu karena alasan itu para perempuan memilih hidup tanpa anak. Mungkin tetap menjalani perkawinan, namun sejak awal merencanakan tanpa anak.
Adakah mereka yang menganut model hidup seperti itu? Jawabnya ada. Mereka disebut sebagai penganut childfree marriage. Sebuah sikap hidup untuk memilih perkawinan tanpa anak. Dalam pandangan penganut childfree, anak seolah tak lebih sebagai pengganggu kebahagiaan, lebih sebagai beban, lebih sebagai sumber masalah. Model perkawinan seperti ini mulai banyak pengikutnya, khususnya di negara-negara yang menganut paham sekuler. Di negeri kita sudah ada beberapa orang yang mebuat pengakuan terbuka sebagai penganut paham ini dan bahkan mengkampanyekannya pada khalayak luas.
Atau bayangkan bila para perempuan itu ingin hidup berpasangan, namun dengan sesama jenis. Mereka ingin mereguk kenikmatan seksual demi tujuan rekreatif semata. Karena berpasangan dengan sesama jenis, pastinya mereka tak akan pernah bisa mengandung dan melahirkan. Tak akan pernah lahir dari rahim mereka anak keturunan sebagai pelanjut generasi. Sikap hidup semacam ini sering disebut lesbian. Dan pengikutnya makin banyak saja. Bahkan mereka mulai menuntut kesamaan hak di hadapan hukum termasuk dalam keabsahan perkawinan.
Penganut lesbianisme bersama-sama dengan kaum Gay, kaum penyuka sesama lelaki, kelompok biseksual dan trans gender atau sering dikenal dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Trans Gender) mulai mendapat simpati dari berbagai kalangan dan di beberapa negara mulai mendapat pengakuan secara hukum. Bahkan kalau kita masih ingat, ajang Piala Dunia yang baru berakhir beberapa waktu lalu pun sempat menjadi ajang beberapa kalangan pro LGBT, termasuk dari kalangan sepakbola sendiri, untuk kampanye dan menjaring dukungan misalnya dengan pengenaan ban kapten pelangi yang kontroversial itu..
Kembali pada Perayaan hari Ibu. Saat banyak pihak mulai mengkampanyekan pandangan hidup yang mendegradasi kedudukan ibu, dengan chlidfree marriage, LGBT atau semacamnya, maka perayaan Hari Ibu menemukan relevansinya. Perayaan Hari Ibu bisa menjadi momen tepat untuk kembali menilik kedudukan ibu khususnya bagi keberlangsungan peradaban. Agak sulit membayangkan bagaimana peradaban manusia ke depan saat “jabatan” sebagai ibu tidak lagi menarik bagi sebagian perempuan. Dan kampanye gaya hidup semacam itu dilakukan secara massif seiring dengan mengguritanya para penyokong liberalisme-sekularisme di seluruh dunia.
Menjadi penting menggaungkan kembali peran dan kedudukan mulia para ibu, bukan sekedar sebagai sosok atau orang perorang yang berjasa bagi anak-anak dalam ranah domestik rumah tangga masing-masing, namun sebagai ikon perawat dan penjaga keberlangsungan peradaban. Bagaimana membangun narasi agar para perempuan tetap bangga dengan kodratnya sebagai perempuan. Bahwa mengandung, menyusui dan melahirkan adalah bagian dari amanah yang diberikan Tuhan khusus hanya pada perempuan dan karena itu adalah sebuah kemewahan saat perempuan bisa menjalaninya dengan penuh suka cita.
Bahwa menjadi ibu, mengasuh dan mendidik anak adalah bagian penting dari tugas peradaban demi menyambung mata rantai kehidupan umat manusia agar tidak terjerumus dalam kepunahan. Tentu para perempuan masih bisa mengembangkan ragam potensinya di bidang maupun profesi apapun. Menjadi ibu bukan penghalang untuk meraih sukses dan menjadi bintang di berbagai area penugasan. Sudah banyak bukti kita jumpai para perempuan yang sukses dalam karir, sekaligus sukses sebagai ibu, sukses sebagain istri. Sejatinya perayaan Hari Ibu adalah momentum untuk memuliaan para ibu. Karena itu apapun wujud perayaannya mesti tetap dengan pesan utama : menjaga marwah dan kemuliaan mereka. Hiruk pikuk, gegap gempita perayaan akan kehilangan makna bila hanya sekedar seremoni belaka. Karena sejatinya para ibu tetap mulia andai tak ada hari khusus untuk merayakannya sekalipun. Karena pesan rasul, nabi termulia Muhammad SAW, ibu adalah tiang negara. Sehingga tidak mengherankan ketika ada seseorang yang bertanya pada Nabi SAW tentang siapa yang lebih berhak untuk menerima bakti, beliau menjawab ibumu, ibumu, ibumu, baru kemudian ayahmu. Bahkan surga pun ada di bawah telapak kaki mereka.
*)Penulis adalah Peminat Masalah Pendidikan dan Keluarga. Tinggal di Rembang Jawa Tengah