Perjalanan Kebaikan
Oleh : Azizah Herawati (PAIF Kab. Magelang)
Pagi ini saya bebas dari rutinitas mengantar anak sekolah. Najha, anak saya yang masih duduk di kelas empat belajar di rumah karena guru-gurunya ada kegiatan. Sementara kakaknya berangkat ke sekolah bersama ibunya.
Dengan demikian saya bisa berangkat kerja sedikit lebih nyantai. Saya bisa agak siangan berangkat ke kantor.
Jalanan menuju ke Kendal memang sedang ada perbaikan. Saya harus lewat Kelurahan Balok agar perjalanan tidak merepotkan.
Sesuai rencana harusnya saya berbelok lewat Kelurahan Balok sampai ke Ngilir. Tetapi hati saya menyuruh untuk tetap lurus sampai jembatan Bandengan dan melewati gang kecil hingga ke Jalan Laut. Padahal saya tahu jalan yang saya lalui itu lumayan rusak. Bahkan jalan di depan RSUD sedang ada perbaikan.
Ah, tak apalah. Toh saya sedang tidak tergesa, begitu gumam saya.
Saya terus melajukan motor dengan santai sambil menyaksikan pemandangan sawah yang mulai berubah menjadi tambak. Sementara kendaraan lain banyak yang menyalip.
Di tengah perjalan saya melihat sesosok anak sekolah tengah jongkok di pinggir jalan. Sepertinya ada sesuatu dengan sepeda yang dinaikinya. Saya pelankan motor dan berhenti di depannya.
“Kenapa, Nok ?”
“Rantainya lepas.”
Saya turun dari motor. Saya lihat jemari tangannya sudah belepotan oli rantai. Pasti dia telah berusaha memasang rantai sepedanya dengan perasaan cemas yang amat. Pasti dia khawatir kalau dia tak bisa membetulkan rantainya. Khawatir kalau dia harus menuntun sepedanya dan terlambat sampai sekolah.
Saya lihat wajahnya begitu muram di pagi yang cerah. Mungkin khawatir karena rantainya lepas.
“Sudah dari tadi, Nok?”
“Iya.”
Saya ingin membantunya. Tapi saya lihat rantainya begitu basah oleh oli. Kalau saya membantu tentu tangan saya belepotan penuh oli seperti anak itu. Sementara di situ tak ada air bersih untuk cuci tangan.
Saya mencoba mencari ranting di sekitar. Siapa tahu dengan ranting tangan saya tidak begitu kotor bila membantu anak itu membetulkan rantainya.
Aha, saya menemukan ranting untuk membantu anak itu. Tapi ternyata sia-sia. Dengan ranting yang saya temukan malah mempersulit pekerjaan.
Akhirnya rantingnya saya buang. Saya harus pakai kedua tangan saya. Tak apalah kotor. Toh nanti bisa cuci tangan di kantor.
Saya perhatikan rantainya memang sudah begitu kendor. Mungkin besok dia akan mengalami hal yang sama. Padahal tidak setiap hari saya melewati jalan ini.
“Rantainya sudah sering lepas ya, Nok?”
“Baru kali ini, Om.”
“Nanti bilang sama bapak kalau rantainya kendor. Minta dipotong ya biar lebih kenceng dan tidak mudah lepas.”
“Iya, Om.”
“Kamu kelas berapa?”
“Kelas tiga, Om.”
Susah juga membetulkan rantai sepeda yang lepas karena masih ada wadah pelindung sehingga tangan saya harus total menyentuh rantai yang begitu banyak oli.
Setelah selesai, anak itu saya suruh jalan duluan. Saya perhatikan sepedanya tidak ada kendala yang berarti. Saya kemudian membersihkan tangan yang masih belepotan oli dengan mengusap-usap rumput di pinggir jalan. Walaupun masih belepotan setidaknya sudah tidak begitu basah.
Saya kembali menaiki motor. Rasanya tidak masalah bila saya menyalip anak itu.
“Hati-hati ya, Nok.”
“Iya, Om. Terima kasih.”
Saya telah menyalipnya. Dari kaca spion saya lihat raut mukanya lebih cerah dibanding ketika dia berusaha sendirian membetulkan rantai sepedanya yang lepas.
Kamu pasti anak baik dan selalu berbuat baik, Nok. Nyatanya, saat kamu susah Gusti Allah mengirimku untuk membantumu.