ARTIKELRefleksi

Menjadikan Bulan Ramadhan sebagai Bulan Literasi

Berbagi yuks..

Oleh : Moch Taufiqurrohman (PAIF Kab. Kendal)

Di kampung saya, setiap bulan Ramadan, masjid, musala dan majelis taklim selalu ramai dengan kajian agama. Mulai ba’da subuh, ba’da dhuhur dan ba’da ashar selalu ada kegiatan mengaji. Sementara ba’da tarawih, tempat-tempat itu juga selalu terdengar lantunan ayat suci Al Qur’an sampai tengah malam.
Macam-macam kajian agama di kampung saya. Ada yang berupa baca kitab karya para ulama, baca kitab tafsir Al Qur’an, muratal dan juga ceramah. Anehnya, semua majelis ilmu itu selalu dipenuhi jama’ah.
Sepertinya orang-orang kampung meyakini bahwa siapapun yang bersedia menghadiri majlis ilmu di bulan Ramadan pahalanya akan berlipat ganda. Mereka rela memangkas waktu istirahat demi asupan dan nutrisi keilmuan. Mereka rela menghadiri majelis ilmu semata untuk mengisi waktu Ramadan agar tidak sia-sia belaka.
Realitas di kampung saya pasti bukanlah satu-satunya. Aktifitas spesial ini tentu juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat muslim di belahan Indonesia. Baik di kampung maupun di kota. Semua melakukannya.
Kenyataan ini sangatlah menggembirakan. Kajian agama di bulan Ramadan bisa dijadikan titik pijak bahwa sebagai bulan yang penuh barakah, Ramadan bisa menjadi bulan literasi, yaitu gairah untuk mewujudkan masyarakat yang suka membaca dan menulis.
Ya, literasi di sini bukanlah istilah dalam arti sempit. Tetapi literasi dalam arti luas yang bisa menjadi penyulut semangat masyarakat muslim di Indonesia. Bila ini disadari oleh seluruh kaum muslimin tentu negara yang sebagian besar penduduknya muslim ini akan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang mumpuni, cerdas dan berperadaban.
Kita tahu, istilah literasi bermula dari bahasa Latin, yaitu “literatur.” Artinya adalah orang yang belajar. Dalam hal ini, literasi sangat berhubungan dengan proses membaca dan menulis. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa Ramadan dijadikan sebagai bulan literasi sangatlah relevan.
Begitu banyak para ahli mendefinisikan literasi. Tetapi dari semua pendapat yang ada, bisa kita pahami bahwa literasi adalah kemampuan kita sebagai manusia untuk mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.
Diantara hakikat berliterasi adalah memahami, yang meliputi menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Kesemuanya merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis.
Lebih dari itu, literasi bisa dipahami sebagai kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Ramadan harus benar-benar diwujudkan sebagai bulan literasi.
Ya, risalah Islam sendiri diawali dari wahyu pertama yang turun di bulan Ramadan berupa surat Al Qalam ayat 1sampai 5. Ini jelas bahwa Islam sangat mendorong umatnya untuk melek literasi.
Wahyu pertama ini dengan sangat lugas membicarakan budaya literasi yang harus terus dikembangkan oleh mahluk yang bernama manusia. Surat Al Qalam menegaskan betapa pentingnya tanggung jawab intelektual dalam berbagai macam kegiatan terkait dengan budaya literasi.
Kita diminta untuk terus belajar yang tidak hanya sebatas membaca saja. Tapi juga harus melalui proses demi proses yang mampu menginternalisasikan nilai- nilai kehidupan untuk peradaban manusia.
Kalau saja Kaum muslimin di Indonesia menyadari hal ini, selama bulan Ramadan tentu tidak hanya menghadiri majlis ilmu saja. Ada usaha untuk menuliskan pengalaman dalam kehidupan yang lebih personal sehingga bisa dijadikan alat untuk sharing dengan orang lain sehingga tulisan tersebut bisa relate dengan kehidupan yang dialami.
Hal ini tentu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan umat. Setidaknya ada jejak Ramadan yang tertinggal dan dijadikan titik pijak untuk diteruskan di bulan-bulan selanjutnya. Setidaknya, selepas Ramadan, ada sesuatu yang bisa kita bagi dengan orang lain, yaitu pengalaman literasi.
Dengan demikian, bulan Ramadan bisa dijadikan pengingat bagi kita untuk menggugah kesadaran agar mau memulai budaya literasi. Hal ini memang telah didukung oleh realitas ketika majelis ilmu dibuka lebar-lebat untuk siapa saja di bulan suci yang penuh barakah ini.
Tentunya kita tidak boleh terkena eforia gempita Ramadan saja. Kita tidak hanya memperbanyak budaya membaca saja. Tetapi lebih dari itu, budaya menulis juga harus kita lakoni pada momentum di bulan suci ini. Maka lengkap sudah, momen Ramadan sebagai momen literasi.
Bila budaya literasi bisa dimulai oleh seluruh elemen masyarakat muslim di Indonesia, tentunya ini adalah gairah intelektual yang sangat menggembirakan. Bahkan tidak menutup kemungkinan hal ini menjadi role model bagi bangsa lain.
Namum masyarakat juga harus memiliki kesadaran penuh bahwa usai Ramadan masih banyak tantangan dalam mempertahankan dan meneruskan budaya literasi ini. Ramadan hanyalah momen untuk memulai. Bukan berarti usai Ramadan budaya literasi juga telah selesai. Justru di bulan-bulan selanjutnya harus terus dipertahankan. Bahkan progres yang dilakukan harus terus naik dan dinamis.
Semua bergantung pada beban moral masing-masing individu. Mampu atau tidak untuk bersikap istikomah dalam mengembangkan misi memasyarakatkan literasi sesuai wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah untuk kita semua.
Bila kita benar-benar menyadari akan wahyu pertama, tentu kita akan terus berusaha menjadi umat yang melek literasi dan berusaha sebagai pelaku utama dalam hal ini. Kita harus tetap optimis mewujudkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *